Negara Tidak Hadir! Eksistensi Masyarakat Adat di NTT Terancam Punah Akibat Pembangunan Geothermal
![]() |
Aksi menolak pembangunan Geothermal di NTT. Foto dokumentasi Jatam.org |
Elemendemokrasi.com, NTT - Konflik tanah di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan persoalan yang kompleks dan sudah berlangsung lama.
Konflik-konflik tanah yang terjadi di NTT bermula saat korporasi-korporasi besar masuk menggandeng alat kekerasan negara. Akibatnya, hak ulayat masyarakat adat terancam keberadaannya.
Hak Ulayat & Tanah Adat
Banyak masyarakat adat di NTT memiliki sistem penguasaan tanah tradisional yang tidak dilindungi secara tegas oleh hukum negara.
Situasi ini cukup memprihatinkan, mengingat hingga saat ini payung hukum untuk memastikan masyarakat adat tetap eksis masih mangkrak pembahasannya di DPR.
Dalam catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam 10 tahun terakhir, ada sekitar 687 konflik agraria yang terjadi di wilayah adat.
Konflik itu terjadi di atas lahan seluas 11,07 juta hektar yang mengakibatkan lebih dari 925 orang warga masyarakat adat yang dikriminalisasi dalam 10 tahun terakhir.
Dari jumlah tersebut, 60 orang di antaranya mendapatkan tindakan kekerasan dari aparat negara, dan satu orang meninggal dunia.
Kondisi-kondisi demikian ini yang menjadi landasan kuat tentang bagaimana urgensi RUU Msyarakat Hukum Adat segera disahkan.
“RUU ini adalah amanat konstitusi dan akan melindungi hak-hak masyarakat adat serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aman seperti melansir Tempo, Selasa, 19 November 2024.
Jika membuka kembali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen, pasal 18B ayat (2) mengenai masyarakat hukum adat juga dirasa tidak berpihak sepenuh hati pada masyaraat adat.
Pasal 18B ayat (2) berbunyi:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Melalui pasal ini menjadi terang, selain UU Masyarakat Hukum Adat menjadi amanat UUD 1945, juga komitmen negara untuk bertanggungjawab terhadap keberlangsungan masyarakat adat tidak tegas. Ini tercermin dari narasi "sepanjang masih hidup".
Pertanyaan besarnya kemudian, Bagaimana jika masyarakat adat keberadaannya dihancurkan secara paksa, dan atau tanah ulayat yang dimilikinya dialihfungsikan untuk kepentingan lain dengan cara-cara kekerasan seperti yang terjadi di NTT ini?
Masyarakat adat di Poco Leok menolak proyek karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan khawatir kehilangan lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama.
Penolakan proyek di beberapa lokasi di Flores, seperti di Poco Leok, telah memicu ketegangan antara warga dan aparat keamanan, termasuk tuduhan kekerasan oleh polisi terhadap penduduk yang memprotes proyek geotherma
Konflik Masyarakat Adat NTT
Ketika negara memberikan izin konsesi kepada perusahaan atau mengambil alih tanah untuk proyek, hal ini pada gilirannya memicu konflik.
Secara historis, masyarakat adat di NTT telah memiliki hak ulayat atas tanah jauh sebelum negara memilikinya, kalau tidak ingin disebut bahkan sebelum Indonesia lahir.
Banyak lahan diambil untuk tambang tanpa persetujuan masyarakat setempat, menimbulkan perlawanan dan kerusakan linkungan, salah satunya proyek Geothermal di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dari kasus ini setidak-tidaknya mencerminkan ketegangan antara upaya transisi energi dan perlindungan hak masyarakat lokal serta lingkungan.
Beberapa proyek panas bumi di wilayah ini, seperti di Poco Leok (Manggarai), Mataloko (Ngada), dan Sokoria (Ende), telah memicu penolakan dari berbagai pihak.
Masyarakat adat di Poco Leok menolak proyek karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan khawatir kehilangan lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama.
Nahasnya, karena korporasi memobilisasi alat kekerasan negara, masyarakat adat di NTT harus dipukul mundur karena dinilai mengganggu kepentingan negara dan investor.
Dampak Lingkungan
Proyek geothermal di Poco Leok dan Mataloko dikhawatirkan menyebabkan deforestasi, penurunan debit air tanah, dan potensi longsor karena topografi perbukitan dan curah hujan tinggi.
Di Mataloko, warga melaporkan kerusakan pada atap rumah akibat gas sulfur dari proyek, serta dampak negatif pada tanaman pertanian seperti kopi dan cengkeh.***
Penulis: Fergilius Taoet
Editor : Syamsul Ma'arif