Aksi Massa Tan Malaka dan Objektifikasi Rakyat
![]() |
Karya-karya buku Tan Malaka. Sumber foto: bukuprogresif.com |
Tan Malaka, dalam bukunya Aksi Massa (1926) melanjutkan tahapan-tahapan untuk mencapai perubahan sejati, perubahan tidak hanya sampai ke tahap semangat yang membara atau hanya kesadaran dari seorang pemuda (buku semangat moeda), tak cukup pula jika hanya mengetahui system politik yang terbaik (buku soviet atau parlemen?) dan tidak akan tercapai Negara republik jika tidak ada suatu cara, rumusan bahkan strategi untuk mencapai perubahan sejati tersebut.
Aksi Massa menawarkan strategi perjuangan revolusioner berbasis kekuatan rakyat.
Ia meyakini bahwa perubahan sejati bukan sekadar pergeseran kekuasaan antarelit hanya dapat terjadi jika massa rakyat, khususnya kaum buruh, tani, dan rakyat miskin kota, terlibat secara aktif dalam proses perjuangan politik.
Bagi Tan, kekuatan revolusi bukan terletak pada meja perundingan para elite, bukan pula pada janji-janji reformasi institusional semata, tetapi pada kesadaran, keberanian, dan kekompakan rakyat untuk mengambil peran sebagai subjek sejarah.
Melalui aksi massa yang sadar dan terorganisir, rakyat akan membebaskan dirinya dari penindasan kolonial dan kapitalisme.
Namun, seabad akan kita lewati bersama gagasan yang ditawarkan, belum juga kita dapatkan gerakan suatu massa yang diharapkan oleh Tan yakni gerakan yang tidak sekadar mobilisasi, tetapi juga berakar pada kesadaran kelas, ideologi pembebasan, dan strategi politik yang radikal.
Namun, seabad akan kita lewati bersama gagasan yang ditawarkan, belum juga kita dapatkan gerakan suatu massa yang diharapkan oleh Tan yakni gerakan yang tidak sekadar mobilisasi, tetapi juga berakar pada kesadaran kelas, ideologi pembebasan, dan strategi politik yang radikal.
Gerakan rakyat memang pernah muncul dalam berbagai bentuk, seperti gelombang reformasi 1998 atau aksi-aksi protes sosial lainnya, namun banyak di antaranya bersifat sporadis, reaktif, dan mudah dikooptasi.
Tidak ada kontinuitas gerakan massa revolusioner yang mampu menggugat secara sistemik ketimpangan struktural yang diwarisi sejak masa kolonial.
Selanjutnya, tidak hanya pertanyaan mengapa strategi itu tidak jalan, tetapi harus juga kita pertanyakan mengapa strategi itu tidak kita wujudkan?. Kenapa kita sebagai masyarakat hanya ingin terlibat sebagai objek dari narasi perjuangan, bukan subjek yang memegang kendali atas arah perjuangannya sendiri?.
Selanjutnya, tidak hanya pertanyaan mengapa strategi itu tidak jalan, tetapi harus juga kita pertanyakan mengapa strategi itu tidak kita wujudkan?. Kenapa kita sebagai masyarakat hanya ingin terlibat sebagai objek dari narasi perjuangan, bukan subjek yang memegang kendali atas arah perjuangannya sendiri?.
Apakah hambatan ini murni berasal dari struktur kekuasaan yang represif, atau ada pula dimensi psikososial yang membuat rakyat sendiri terjebak dalam posisi yang tidak memberdayakan?
Di sinilah pentingnya mengajukan perspektif baru, salah satunya melalui pendekatan Objectification Theory, untuk membaca kembali mengapa aksi massa sebagai strategi radikal gagal mengakar dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia.
Salah satu pendekatan yang relevan untuk menjelaskan kegagalan strategi tersebut adalah Objectification Theory, atau teori objektifikasi sosial.
Di sinilah pentingnya mengajukan perspektif baru, salah satunya melalui pendekatan Objectification Theory, untuk membaca kembali mengapa aksi massa sebagai strategi radikal gagal mengakar dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia.
Salah satu pendekatan yang relevan untuk menjelaskan kegagalan strategi tersebut adalah Objectification Theory, atau teori objektifikasi sosial.
Teori ini awalnya berkembang dalam kajian psikologi feminis, khususnya oleh Barbara Fredrickson dan Tomi-Ann Roberts, untuk menjelaskan bagaimana tubuh perempuan sering kali diperlakukan sebagai objek dalam budaya patriarki.
Namun dalam konteks yang lebih luas, teori ini juga dapat diterapkan dalam kajian sosial politik untuk menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok tertentu termasuk rakyat miskin, buruh, dan petani diperlakukan bukan sebagai subjek dengan kehendak dan kesadaran, melainkan sebagai alat atau komoditas dalam proyek-proyek politik.
Dalam konteks perjuangan politik Indonesia, rakyat sering kali hanya dimobilisasi ketika dibutuhkan untuk kepentingan elite.
Dalam konteks perjuangan politik Indonesia, rakyat sering kali hanya dimobilisasi ketika dibutuhkan untuk kepentingan elite.
Sebagai peserta demonstrasi yang dibayar, sebagai pemilih dalam pemilu, atau sebagai massa aksi untuk menekan lawan politik.
Setelah tujuan elite tercapai, massa kembali dipinggirkan dan ditinggalkan tanpa penguatan kapasitas, pendidikan politik, atau ruang partisipasi yang berkelanjutan.
Proses ini mencerminkan objektifikasi sosial, di mana rakyat tidak dilihat sebagai manusia merdeka yang mampu berpikir dan bertindak, tetapi hanya sebagai "alat" penggerak legitimasi atau tekanan.
Ketika rakyat diposisikan seperti ini, tidak mengherankan jika strategi revolusioner ala Tan Malaka gagal tumbuh.
Ketika rakyat diposisikan seperti ini, tidak mengherankan jika strategi revolusioner ala Tan Malaka gagal tumbuh.
Sebab dalam Aksi Massa, Tan menekankan pentingnya pendidikan politik dan pembentukan kesadaran kelas agar rakyat dapat menjadi subjek perjuangan.
Namun tanpa proses pembebasan dari status sebagai objek sosial, massa tidak memiliki kapasitas untuk menjadi agen perubahan yang berkelanjutan. Mereka mudah dimanipulasi, dipecah-belah, dan akhirnya apatis terhadap perjuangan yang seharusnya mereka pimpin sendiri.
Dengan demikian, kegagalan gagasan Aksi Massa tidak hanya dapat dijelaskan melalui represi politik atau lemahnya organisasi massa, tetapi juga melalui proses sosial yang lebih dalam.
Dengan demikian, kegagalan gagasan Aksi Massa tidak hanya dapat dijelaskan melalui represi politik atau lemahnya organisasi massa, tetapi juga melalui proses sosial yang lebih dalam.
Depolitisasi dan objektifikasi rakyat secara sistemik. Proses inilah yang terus berlangsung, dari era kolonial hingga rezim demokrasi elektoral hari ini, di mana rakyat masih sering dianggap hanya sebagai kerumunan, bukan komunitas sadar yang siap mengambil alih sejarahnya sendiri.
Gagasan Tan Malaka dalam Aksi Massa sesungguhnya melampaui zamannya. Ia bukan hanya menawarkan strategi teknis perjuangan, tetapi juga sebuah visi emansipatoris di mana rakyat adalah subjek sejarah, bukan alat kekuasaan.
Gagasan Tan Malaka dalam Aksi Massa sesungguhnya melampaui zamannya. Ia bukan hanya menawarkan strategi teknis perjuangan, tetapi juga sebuah visi emansipatoris di mana rakyat adalah subjek sejarah, bukan alat kekuasaan.
Namun, kegagalan mewujudkan strategi ini secara nyata menunjukkan bahwa perjuangan politik tidak cukup hanya dengan seruan ideologis atau semangat perlawanan.
Perlu ada pembebasan yang lebih mendalam, pembebasan dari status sebagai objek sosial, yang terus diwariskan oleh sistem ekonomi-politik kolonial dan dilanggengkan oleh kekuasaan modern.
Teori objektifikasi menawarkan pisau analisis yang tajam untuk membaca bagaimana struktur sosial-politik membentuk cara pandang terhadap rakyat.
Teori objektifikasi menawarkan pisau analisis yang tajam untuk membaca bagaimana struktur sosial-politik membentuk cara pandang terhadap rakyat.
Selama rakyat masih diposisikan sebagai "alat" dalam politik, bukan sebagai individu dan komunitas yang berpikir, merasakan, dan bertindak atas kesadarannya sendiri, maka semangat Aksi Massa hanya akan hidup dalam teks sejarah tidak dalam denyut perubahan nyata.
Maka hari ini, jika kita ingin meneruskan warisan Tan Malaka, perjuangan itu bukan sekadar menggerakkan massa.
Maka hari ini, jika kita ingin meneruskan warisan Tan Malaka, perjuangan itu bukan sekadar menggerakkan massa.
Lebih dari itu, perjuangan harus mampu memulihkan kemanusiaan rakyat, menjadikan mereka bukan alat, melainkan aktor penuh dari perubahan yang mereka perjuangkan.
Penulis: Fualdhi Husaini Hasibuan (Angota muda berbakat LMND: Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Aceh)