Hardiknas 2025: Pendidikan untuk Siapa?
![]() |
Ilustrasi pixabay.com |
Pendidikan, sebagai salah satu senjata utama dalam membentuk karakter anak bangsa, seharusnya mampu menciptakan generasi yang tidak hanya terdidik tetapi juga terlatih untuk memahami peradaban dunia dan berperan aktif dalam menata masa depan bangsa.
Dalam konteks ini, pendidikan mestinya berpihak pada masyarakat kecil, yang selama ini terpinggirkan dalam sistem yang ada.
Namun, kondisi pendidikan Indonesia saat ini jauh dari harapan tersebut. Pendidikan seharusnya menjadi hak setiap anak bangsa, untuk memberi mereka kesempatan bersaing di dunia yang semakin modern.
Tetapi, kenyataannya, pendidikan di Indonesia seringkali dipandang sebagai ladang bisnis. Sektor pendidikan tinggi, misalnya, banyak dikuasai oleh lembaga swasta yang lebih fokus pada keuntungan daripada kualitas dan akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Pendidikan seharusnya menjawab kebutuhan setiap individu untuk berkembang, namun jika sistem pendidikan di Indonesia masih dikendalikan oleh kepentingan pasar dan segelintir elit, siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Jika negara bertanggung jawab atas pendidikan, mengapa justru negara yang menentukan kurikulum dan kebijakan pendidikan yang kerap kali tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil?
Sistem pendidikan yang ada bukan lagi menjadi alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan lebih mengarah pada komodifikasi, yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Padahal, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945, negara harus hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sistem pendidikan yang adil dan merata.
Namun kenyataannya, pemerintah sering kali lebih banyak berperan sebagai pelaku yang turut dalam komersialisasi pendidikan, bahkan bersekongkol dengan elit untuk mengeruk keuntungan dari sektor ini.
Ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan amanat UUD 1945.
Data menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia semakin mahal, terutama di tingkat perguruan tinggi.
Misalnya, biaya kuliah di perguruan tinggi swasta yang terus meningkat, bahkan mencapai angka puluhan juta per tahun, membuat pendidikan menjadi komoditas yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang yang mampu secara finansial.
Di sisi lain, kualitas pendidikan yang seharusnya meningkatkan daya saing anak bangsa, justru sering kali tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata partisipasi pendidikan di daerah pedesaan jauh lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan, dengan angka putus sekolah yang lebih tinggi di daerah-daerah terpencil.
Pada 2020, sekitar 5% anak usia 7-18 tahun di pedesaan tidak mengenyam pendidikan, sementara di perkotaan hanya 2,5%. Angka ini mencerminkan betapa sulitnya akses pendidikan yang layak di luar wilayah urban, yang justru seharusnya menjadi perhatian utama negara.
Dalam konteks ini, pendidikan di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan pasar ketimbang kepentingan nasional.
Sistem pendidikan kita seharusnya lebih merata dan berpihak pada semua lapisan masyarakat, bukan hanya pada kelompok elit.
Negara harus kembali hadir dan memastikan pendidikan adalah hak bagi semua, bukan barang dagangan yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial.
Apakah negara benar-benar peduli dengan persoalan pendidikan saat ini?
Atau apakah negara sengaja melepaskan tangan dan membiarkan sistem ini semakin terperosok ke dalam lubang komersialisasi yang semakin dalam?
Kita harus mengevaluasi kembali peran negara dalam dunia pendidikan, dan memastikan bahwa pendidikan di Indonesia benar-benar berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945.