Minuman Keras dan Pelecehan Seksual
![]() |
Ilustrasi pelecehan Seksual. Sumber foto pixabay.com |
Trigger Warning!
Pemberontakan dalam setiap jiwa setelah ditindas ialah bentuk yang kasat mata, namun pernahkah sesekali kita melihat sisi lain yang disembunyikan dengan baik dibalik pemberontakan itu?
Ini Kisah tentang pemberontakan para korban pelecehan hingga kekerasan seksual yang setiap detiknya merasa sesak dadanya hingga isi kepalanya penuh dengan apa yang harus dilakukan selanjutnya, atau sekedar berpikir apa yang baru saja terjadi pada dirinya.
Walau ini terlihat sepele bagi kebanyakan orang, akan tetapi Pelecehan dapat merubah pola pikir orang-orang.
Korban akan mengalami perasaan yang tidak mengenakan dan mengancam. Seakan tidak ada ruang aman bagi korban, atau tidak ada lagi orang-orang yang akan ia percayai kembali.
Kepada para Pelaku Kekerasan Seksual
- Pegawai instansi dan anak mantan kadis DP3A yang berani melakukan pelecehan seksual tanpa rasa bersalah.
- Mantan pemimpin organisasi kemahasiswaan yang melakukan kekerasan seksual pada anggotanya,
- Kawan juang yang hampir menjadi presiden BEM FISIP yang melecehkan kawannya sendiri pra Aksi demonstrasi saat mabuk.
- Salah satu mahasiswa fakultas teknik yang melecehkan temannya dengan dalih “sama-sama Mau” saat mabuk.
- Kawan juang yang mengutuk pelecehan seksual namun mencoba untuk melecehi kawannya sendiri.
- Salah satu dosen yang selalu melontarkan candaan seksisme atau meminta foto bugil mahasiwinya.
- Oknum dosen yang menormalisasi seksisme.
- Rekan perkawanan yang tanpa rasa malu juga selalu melakukan seksisme.
Pelaku-pelaku yang penulis sebutkan diatas adalah orang-orang yang masih bernapas tanpa beban mental yang hancur, Hidup tanpa victim blamming pasca melakukan aksinya sendiri.
Kalimat-kalimat sederhana yang terurai ini adalah bentuk perjalanan mendapati para orang-orang bejat yang jika disamakan dengan kawanan hewan pun tidak akan pernah setara.
Penulis tidak mengutuk laki-laki sebab korban pelecehan dan kekerasan seksual juga laki-laki, maka yang perlu ditanamkan dalam diri adalah keberanian dan konsistensi untuk mendidik diri, perkawanan dan lingkungan kita dalam perlawanan saat mendapati pelecehan atau kekerasan seksual.
Dalam kondisi apapun, pelecehan atau kekerasan seksual tidak dapat dibenarkan tak terkecuali saat mengkonsumsi miras.
Potensi Kekerasan seksual bisa terjadi dalam ranah hubungan keluarga, pertemanan ataupun pacaran, pendidikan, lingkungan religius.
Penulis mencoba menguraikan cerita singkat proses resiliensi korban pasca mendapati pelecehan dan tentunya sudah disetujui untuk dipublikasikan.
Resiliensi korban pasca pelecehan.
Korban merupakan perempuan perokok pasif dan mengkonsumsi miras jika ingin. Ia merupakan perempuan yang dianggap tunasila akibat perilakunya yang selaras dalam menentang patriarki (dalam perilakunya yg merokok,miras bahkan sering keluar malam).
Dia sosok perempuan sederhana yang sering dipanggil bodoh, gila ataupun liar akibat perilakunya yang selengean.
Dialah perempuan yang mendapati pelecehan pada dirinya sedari kecil, dan merasa bahwa dunia tidak aman untuk perempuan tempati.
Dia juga pengidap anxiety disorder 4 tahun ini, kondisi traumatis dilecehkan membuatnya merasa harus merubah pakaiannya menjadi lebih maskulin untuk dianggap tomboi demi rasa aman dari pelecehan namun ternyata sama saja.
Pada 11 September 2024 lalu, ia didapati mengalami pelecehan seksual saat mengkonsumsi minuman keras bersama teman-teman lelakinya.
Pukul 2 dini hari disalah satu kosan milik pelaku, momen ini menjadi kesempatan pelaku melakukan aksi pelecehan padanya.
Dalam Situasi ini siapa yang patut di salahkan? dalam konstruk berpikir masyarakat patriarkal, tentunya akan menyalahkan korban, pendapat masyarakat “untuk apa miras bersama sekumpulan teman-teman lelaki?”, “wajar saja jika menjadi korban pelecehan seksual saat mabuk”, “bisa jadi korban dan pelakunya sama-sama mau saat itu”.
Persetan pada semua kalimat yang membenarkan perilaku pelaku, terlepas dari minuman keras yang memang dilarang di negara ini, mari kita lihat otoritas tubuh individual yang selalu bias dipahami hingga berujung pada membenarkan aksi para pelaku pelecehan dan kekerasan seksual yang beraksi saat mengkonsumsi minuman keras.
Kasus ini diungkap untuk menjadi bahan pembelajaran kita semua, dan bukan untuk menormalisasi konsumsi minuman keras di lingkungan kita.
Perlu dipahami bersama bahwa semua orang berhak mendapatkan ruang aman di lingkungan masyarakat.
Dalam kasus ini pelaku melakukan aksinya saat korban tertidur diruangan yang sama saat mengkonsumsi minuman keras.
Pelaku memaksa untuk mencium korban dan merayu tanpa consent (persetujuan). Pelaku langsung mencium korban di bagian mulut dan meninggalkan bekas di leher korban.
Hal ini diwajarkan pelaku karena merasa bahwa saat korban tidak mau lalu kenapa turut meladeni ciuman si pelaku? hingga akhirnya pelaku merasa aksinya ini didasari karena “sama-sama mau”.
Setelah kejadian pelecehan itu, korban merasa orang-orang mulai menjauhinya tak terkecuali kekasih korban. perubahan perilaku korban diakui orang-orang terdekatnya emosi yang tidak terkontrol.
Kondisinya semakin memburuk saat korban divonis mengidap anxiety. kejadian pelecehan yang dialaminya beberapa tahun kebelakang membuatnya berupaya untuk melukai diri beberapa kali.
Beruntungnya Korban mampu mengontrol dirinya dengan kesibukan yang positif, walaupun seringkali merasa anxiety menguasai dirinya tanpa tahu waktu.
Victim blaming juga dialami korban setelah menceritakan kasusnya. Hal tersebut cukup membuatnya merasa sangat tidak berguna.
Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul seperti “ini yang keberapa kali kau dilecehkan?” “ngapain keluar tengah malam dan mabuk?”.
Korban selalu teringat pada pernyataan masyarakat yang sering melabeli ia sebagai wanita tunasila (lonte, dan sejenisnya) hal tersebut semakin mendorongnya untuk mengkonsumsi obat-obatan anti depresi.
Respon-respon negatif dari masyarakat membuatnya selalu melukai dirinya sendiri, baginya tidak ada pendengar yang baik bahkan kekasihnya pun menjauhinya.
Terlepas dari hubungan romantisme, kehidupan korban semakin tidak menentu akibat menjadi korban pelecehan beberapa kali.
Hingga akhirnya ia mencoba konseling pada salah satu instansi, walaupun tidak berhasil mengatasi rasa traumanya.
Pada ruang kontemplasi dan jadwal keseharian yang dibuatnya membuat ia perlahan-lahan kembali pulih dan mencoba untuk beradaptasi kembali dengan lingkungannya walaupun sudah cacat nama hingga perilakunya di masyarakat sekitar.
Pasca kejadian pelecehan beberapa tahun lalu itu, korban menceritakan kronologisnya pada kekasihnya. Menjadi pendengar yang baik membuat korban merasa aman, akan tetapi korban mendapat pertanyaan yang menyudutkannya.
Pada kasusnya baru saja terjadi, korban sempat ingin melapor dan akibat adaptasi yang sulit atas mentalnya pasca pelecehan membuat ia untuk mengurungkan niatnya.
Lingkungan pertemanan yang kembali mendukung korban agar tidak menginternalisasi dirinya salah juga kembali membantu ia pulih. Masa pulihnya dilalui dengan terapi mental yang dijalani hingga kini.
Lalu bagaimana dengan si pelaku? Pelaku seorang mahasiswa di salah satu universitas di ternate, DD (22 Tahun). Mungkin baginya merasa wajar jika berciuman atau melakukan hubungan seksual saat mabuk.
Penuturan korban hanya akan dianggap lelucon dan lebay, karena korban tidak melanjutkan pelaporan sehingga membuat pelaku tidak dirugikan dan ia tidak perlu bersusah payah membersihkan nama baiknya.
ini bukan tentang seberapa bebas para perempuan dalam bergaul, ini tentang lingkungan patriarkal dimana perempuan mendapat victim blaming pasca menerima pelecehan seksual di tongkrongan sehari-hari.
Terlepas dari minuman keras yang dilarang habis habisan di negara ini, pemicu paling besar dalam hadirnya pelecehan seksual dalam kasus ini ialah tentang aksi para individu yang ingin meloloskan niat dan pemikiran seksismenya lewat perilaku melecehkan sebagaimana kronologis di atas.
Bullshit jika perilaku pelecehan itu dijadikan alasan untuk dinormalisasikan dalam kondisi saat kita sedang dipengaruhi alkohol.
Dalam sebuah artikel berjudul Is Alcohol Sabotaging Your Sex Life? yang memuat wawancara Asif Muneer (konsultan ahli urologi dan andrologi di The Wellington Hospital) dan Dr Becky Spelman (psikolog dan direktur klinis dari Private Therapy Clinic), terdapat fakta bahwa pengaruh alkohol yang justru membuat seseorang kehilangan libido.
Di salah satu poin fakta di artikel wawancara itu, Asif dan Becky menyebut bahwa alkohol merupakan obat depresan. Oleh karena itu, alkohol justru dapat mengurangi hasrat seksual seseorang, bukan malah meningkatkannya.
Menurut pernyataan Asnifriyanti Damanik pengurus Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) kekerasan seksual terjadi karena 2 faktor. Pertama, kekerasan seksual terjadi karena budaya patriaki yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Kedua, sistem hukum seperti substansi, struktur dan kultur hukum, yang belum melindungi korban kekerasan seksual seksual.
Akal Sehat.
Setiap korban akan merasakan perasaan dikucilkan, dihindari atau dijauhkan. Perasaan serupa juga cukup mengganggu korban, sudah masuk kurang lebih 3 minggu berjalan pasca korban mendapati pelecehan.
Menghubungi psikiater adalah upayanya dan sementara bertahan dengan konseling pada salah satu LSM. Yang mengganjal ialah perasaan tidak terima pada sikap pelecehan yang dinormalisasikan.
Dalam artikel di laman rti alkohol dan pornografi hadir, kekerasan seksual itu kemudian bereskalasi secara cepat menjadi aksi perkosaan. Disebutkan, banyak laki-laki yang salah didik, mereka dibesarkan dalam kultur yang membiarkan kekerasan seksual terjadi pada perempuan, termasuk kebiasaan melecehkan perempuan secara verbal juga fisik.
Setiap hari kekerasan seksual dibiarkan terjadi seolah-olah hal yang normal. Jangan kaget bila saat pemicu seperti alkohol dan pornografi hadir, kekerasan seksual itu kemudian bereskalasi secara cepat menjadi aksi perkosaan.
Benar saja, bahwa kebiasaan melakukan candaan seksisme dalam tongkrongan kita justru akan menambah populasi pelaku pelecehan atau kekerasan seksual di lingkungan kita. Dari hal-hal ini, masyarakat seharusnya sadar betapa penting dalam mengajarkan laki-laki untuk menghargai otoritas tubuh perempuan.
Dalam laman itu juga meyakinkan kita bahwa, perkosaan terjadi bukan sekadar pengaruh alkohol atau pornografi. Niat buruk yang sudah hadir dalam kepala pelaku ketika mereka menganggap dirinya pantas memperlakukan korban sebagai obyek seks, jauh sebelum mereka menenggak alkohol atau menonton film biru yang dibintangi Maria Ozawa.
Pesan Penulis, tetap jaga akal sehat kita dalam setiap ruang hidup yang harusnya individual kita dapat hidup tanpa perasaan tidak aman yang diakibatkan dengan perilaku para penjahat kelamin yang terpelihara.
Penulis: Sena Arunika