Membongkar Hegemoni Kapitalisme Digital dan Pentingnya Kesadaran Kritis dalam Era Disinformasi
![]() |
Ilustrasi pixabay.com |
Maka menjadi penting bagi setiap individu, terutama generasi muda dan mahasiswa, untuk bersikap kritis dan selektif dalam menyaring setiap isu dan narasi yang beredar.
Mengacu pada pemikiran Heraklitos yang mengatakan bahwa “tidak ada yang tetap kecuali perubahan”, dan kemudian diperdalam oleh Hegel dalam teori dialektikanya: tesis – antitesis – sintesis, kita dapat memahami bahwa setiap perubahan dalam sejarah manusia selalu berakar pada pertentangan dan perkembangan ide.
Sebagai contoh, Revolusi Prancis di abad ke-17 adalah bentuk nyata bagaimana dialektika menghasilkan tatanan sosial baru: kapitalisme menggantikan feodalisme, dengan cita-cita awal untuk membebaskan manusia dari penindasan dan ketidakadilan.
Namun, setelah ratusan tahun kapitalisme mendominasi dunia, pertanyaan mendasar muncul: apakah sistem ini benar-benar berhasil mewujudkan masyarakat tanpa kelas dan tanpa penindasan?
Atau justru sistem ini menjelma menjadi bentuk penindasan baru yang lebih halus, lebih terselubung, dan lebih berbahaya?
Jika kita menelusuri lebih dalam, kapitalisme saat ini berkembang tidak hanya sebagai sistem ekonomi, tetapi juga menjadi ideologi yang memengaruhi cara berpikir dan gaya hidup masyarakat global.
Budaya konsumerisme, individualisme, dan hedonisme kini telah menjadi bagian dari keseharian kita, sehingga penjajahan gaya baru terjadi bukan melalui senjata, melainkan lewat gaya hidup yang direkayasa.
Sebagaimana pepatah mengatakan: “anggur lama dalam botol baru”, sistem kapitalisme hari ini sebenarnya masih menyimpan substansi lama berupa eksploitasi dan ketimpangan, meski dikemas dengan wajah modern.
Kita mungkin mengira telah hidup di dunia yang merdeka dan adil, padahal secara struktural, kita masih berada dalam cengkeraman kekuatan modal global yang mengendalikan arah kehidupan kita melalui teknologi, media, dan pendidikan.
Sains modern telah memberi kita kesadaran bahwa tidak semua fakta bisa dilihat atau dirasakan langsung oleh indra.
Banyak realitas sosial dan politik yang tidak kasat mata, namun tetap memengaruhi hidup kita secara fundamental.
Seperti halnya kolonialisme di masa lalu yang terlihat secara nyata, kolonialisme modern hadir dalam bentuk yang tersembunyi – melalui utang luar negeri, dominasi korporasi multinasional, manipulasi informasi digital, dan regulasi ekonomi yang berpihak pada pemilik modal besar.
Sebagai generasi yang sadar dan berpikir kritis, kita harus menyadari bahwa pendidikan adalah alat utama untuk membongkar hegemoni sistem ini. Sayangnya, pendidikan hari ini pun telah dikooptasi menjadi alat reproduksi ideologi kapitalis.
Biaya pendidikan mahal, kurikulum yang menjauh dari nilai-nilai emansipatoris, dan sikap anti-kritis di kalangan tenaga pendidik menjadi hambatan besar dalam membangun kesadaran kolektif.
Lebih ironis lagi, di tengah gempuran teknologi digital, budaya membaca dan literasi kritis justru mengalami kemunduran.
Aplikasi media sosial dirancang sedemikian rupa untuk membuat pengguna kecanduan hiburan instan, menjauh dari bacaan bermutu, dan pada akhirnya melumpuhkan daya kritis masyarakat.
Maka tidak mengherankan jika masyarakat hari ini mudah teralihkan oleh isu-isu yang tidak substansial.
Contoh nyata adalah bagaimana media dengan cepat mengangkat isu pemecatan pelatih timnas, Shin Tae-yong (STY), untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu krusial seperti kenaikan PPN menjadi 12%, membengkaknya dominasi kepemilikan asing hingga 40%, lonjakan harga BBM, dan perampasan tanah ulayat untuk proyek strategis nasional.
Media digital, sebagai alat dominasi kapitalis global, telah menjadi mesin utama untuk mengendalikan opini publik.
Negara, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru menjadi agen penyebaran narasi yang menguntungkan pemilik modal. Dalam konteks inilah, penting bagi kita untuk terus mengembangkan pola pikir dialektis, mempertanyakan status quo, dan mencari alternatif yang membebaskan.
Sebagaimana ditegaskan Karl Marx dalam Materialisme Dialektis dan Historis, bahwa kondisi material membentuk kesadaran manusia.
Maka tugas kita sebagai bagian dari kelas pekerja dan rakyat tertindas adalah menciptakan kesadaran baru yang bersumber dari realitas ketertindasan kita hari ini, dan dari sana kita harus membangun sintesis baru yang benar-benar membebaskan.
Pendidikan yang merdeka, ilmu pengetahuan yang berpihak pada rakyat, dan media yang independen adalah tiga elemen utama dalam perjuangan melawan penjajahan gaya baru.
Oleh karena itu, mari kita bangkit, menyatukan kekuatan, dan menjadikan pemikiran kritis sebagai senjata untuk melawan sistem kapitalisme global yang menghisap.
Seperti dikatakan oleh Vladimir Lenin: “Kita harus melakukan revolusi sebelum kapitalisme menjadi terlalu kuat untuk ditumbangkan.” Maka, sekaranglah saatnya.
Penulis: Roni Maran
Anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi – Eksekutif Kota Kupang