Kota Serang Darurat Stunting, Pemerintah Jangan Abai

Alvina Lili Nurlita/Mahasiswa Universitas Bina Bangsa. Dokumentasi pribadi*

MindsetBanten - Menuju generasi emas Indonesia 2045 bukanlah perkara mudah. Anak adalah generasi estafet harapan bangsa, permasalahan stunting masih menjadi diantara lima fokus kesehatan utama tahun 2022 masalah gizi pada bayi dan anak dibawah usia dua tahun di Indonesia.

Stunting menjadi kondisi genting dan penting dituntaskan karena khawatir akan menghambat momentum generasi emas Indonesia 2045.

Melansir dari hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI), gerak cepat pemerintah Indonesia menuntaskan stunting pada tahun 2019 berbuah manis menyentuh angka stunting 27,67% dan berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2021, Indonesia kembali mengalami penurunan di angka 24,4%.

Walaupun angka stunting ini menurun, sayangnya WHO menargetkan angka stunting tidak boleh lebih dari 20%, artinya angka stunting di Indonesia dinilai masih tinggi..

Berselancar media berita Sekretariat Kabinet RI, terdapat dua intervensi holistik pemerintah dalam menangani stunting yaitu: Intervensi spesifik dan intervnsi sensitif.

Intervensi spesifik adalah intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dan kepada ibu sebelum dan di masa kehamilan, yang umumnya dilakukan di sektor kesehatan.

Sedangkan intervensi sensitif dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dan merupakan kerja sama lintas sektor.

Jika mencermati dua intervensi tersebut, maka fokus intervensi spesifik ada pada ranah kesehatan dan fokus intervensi sensitif ada pada kerja sama lintas sektor.

Lainnya, saat ini upaya pemerintah menerapkan tiga langkah dalam pencegahan stunting yaitu Pertama, pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil serta peningkatan asupan gizi.

Kedua, meningkatkan pelaksanaan konsultasi ibu hamil dari empat kali menjadi enam kali dan ketiga, memantau perkembangan janin selama kehamilan.

Beralih pada penanganan stunting di ranah nasional, sudah sepatutnya saya membahas keadaan tempat saya tumbuh besar yaitu Kota Serang. Ibu kota provinsi Banten yang memiliki enam kecamatan, juga memiliki problematic stunting yang setiap tahunnya terus menjadi fokus utama pemerintah Kota Serang.

Melansir data stunting dari Dinas Kesehatan Kota Serang, pada tahun 2019 sebanyak 5,84% atau 2.556 balita, pada tahun 2020 kasus stunting di Kota Serang meningkat, sebanyak 6,01% atau 2.846 balita dan tahun 2021 mengalami penurunan sebanyak 4.0% atau 2.830 balita.

Jika kita cermati, data stunting terakhir pada 2021 masih tinggi dibanding tahun 2019 dan perbandingan data 2020 ke 2021 tergolong penurunannya hanya 16 balita.

Artinya dalam hal ini, pemerintah dianggap kurang sigap menangani stunting disetiap tahunnya. Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Kecamatan Kasemen masih jadi kasus stunting tertinggi di kota Serang sebanyak 439 kasus.

Kasus stunting terbanyak di duduki Kelurahan Banten sebanyak 134 kasus dan kasus stunting sedikit di duduki Kelurahan Banten sebanyak satu kasus stunting.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Anthon Gunawan menyampaikan bahwa pengaruh prevalensi stunting itu diakibatkan banyaknya masyarakat yang belum memiliki jamban.

Dalam hal penanganan kasus stunting, sama dengan intruksi nasional. Pemerintah kota Serang menerapkan dua kebijakan yaitu spesifik dan sensitif.

Jenis spesifiknya difokuskan pada dinas kesehatan, adapun juga sensitifnya ditangani oleh DP3AKB, kebutuhan pangan ditangani oleh Dinas Pertanian serta kebutuhan air bersih oleh BAPPEDA dan DPUPR.

Menurut pengamatan penulis dalam hal infrastruktur, pemerintah kota Serang sudah merealisasikan pembangunan jamban di kecamatan Kasemen, kecamatan Taktakan, kecamatan Walantaka dan kecamatan Curug dan (PMT) Pemberian Makanan Tambahan pada setiap posyandu ataupun puskesmas. Tentunya ini merupakan terobosan baik dari penanganan kasus stunting di kota Serang.

Namun alangkah tidak eloknya jika infrastruktur tidak diimbangi dengan penanganan konseptual dan penanganan prosedural.

Jika stunting diakibatkan pada kekurangan asupan gizi kronis dan infeksi berulang pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), maka penanganan yang lebih dulu adalah kehadiran pemerintah dalam pengedukasian masyarakat dalam pemenuhan gizi pada balita, seperti pengelolaan advokasi konvergensi pencegahan stunting, peningkatan akses ibu hamil dan menyusui serta balita terhadap jaminan kesehatan, peningkatan kapasitas dan pemberian insentif untuk kader pembangunan manusia, kader posyandu dan pendidik PAUD.

Kehadiran rumah desa sehat yang didalamnya berisi konseling gizi juga belum ada di setiap kecamatan kota Serang.

Menurut hemat penulis, pencegahan stunting di kota Serang hanya difokuskan pada puskesmas setiap kelurahan, puskesmas menjadi tonggak awal permasalahan kesehatan masyarakat.

Karena terkendala ekonomi masih menjadi alasan utama masyarakat desa untuk enggan menginjak ke Rumah Sakit. Dalam hal ini negara gagal menjamin kesehatan dan ekonomi setiap warga negaranya.

Selain dalam ranah kesehatan, faktor lingkungan juga menjadi hal terpenting dalam penanganan stunting, kehadiran DLH dalam penganan sampah dan menjamin kesehatan sirkulasi udara juga penting. Akan jadi hal yang percuma, apabila kesehatan lingkungan tidak diperhatikan. (Alv).









Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url