Hardiknas 2025: Memaknai Kembali Orientasi Pendidikan Sebagai Alat Pembebas
![]() |
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025. Sumber foto pixabay.com |
Tanggal 2 Mei merupakan momentum penting & bersejarah bagi pelajar dan mahasiswa Indonesia, karena di tanggal ini ditetapkan untuk pertama kalinya oleh Sukarno Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 yang ditandatangani pada tanggal 16 Desember 1959.
Jika kita fantasikan kembali pada suasana kebatinan di tahun itu, ada beberapa point substantif yang ingin disampaikan Sukarno di hari penetapan Hardiknas di tanggal 2 tersebut.
Selain tanda jasa untuk Ki Hadjar Dewantara yang dinilai sebagai peletak fondasi pendidikan yang merdeka, berakar pada budaya bangsa, dan berpihak kepada rakyat kecil, diteguhkan juga bahwa pendidikan adalah alat perjuangan bangsa, juga sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial yang komersial, diskriminatif dan tidak ramah pemerempuan.
Jika dihayati lebih jauh di Hari Pendidikan Nasional hari ini, yang dijabarkan Sukarno relevan adanya, dan suasana kebatinan Sukarno saat itu seirama dengan kehendak pemuda mahasiswa progresif hari ini, juga Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Orientasi pendidikan, esensi pendidikan sebagai alat pembebasan terlempar jauh seperti yang terjadi sebagaimana adanya sekarang harus ditarik kembali ke barak, ke cita-cita para penggagasnya; sebagai alat pembebasan, alat perlawanan untuk melepaskan manusia dan bangsa dari belenggu penjajahan didalam semua bentuknya.
Pendidikan hari ini masih Kolonial
Hari ini, Genap 66 tahun tanggal 2 Mei 2025 mengiringi Hari Pendidikan Nasional. Itu artinya, sudah 66 kali sekolah-sekolah, universitas-universitas, negara, pemuda & mahasiswa memperingati Hari Pendidikan.
Hingga sebanyak itu, pendidikan kita harus menjadi alat pembebas!
Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya. Di masa Sukarno, pendidikan digerogoti sistem kolonial, di masa kini, pendidikan membusuk karena digerogoti kapitalisme dengan logika liberalnya yang mengerikan, yang dengan resep-resepnya, pendidikan dibuat menjadi ladang bisnis dan mahal, berorientasi pada pasar bebas, dan wadah pelacuran intelektual.
Tidak ada pendidikan untuk memerdekakan, tidak ada pendidikan untuk pembebasan, tidak ada pendidikan untuk kebudayaan sejati bangsa Indonesia.
Dengan membawa semangat Sukarno dan Ki Hajar Dewantara, kami akan berjuang sehebat-hebatnya, menghancurkan tatanan lama pendidikan yang usag, menuju pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan mengabdi pada rakyat tertindas.
Sekolah Rakyat
Ditengah dominannya logika pasar bebas kapitalisme yang juga merangsek masuk dunia pendidikan kita, sekolah rakyat hadir sebagai alternatif sekaligus menjadi antitesa sistem pendidikan liberal.
Kata kunci kita masih sama: pendidikan di masa Sukarno dijadikan alat perlawanan terhadap dominasi logika kolonial yang diskriminatif yang hanya membuka akses terbatas bagi kaum elit dan pribumi terpilih sehingga akses pendidikan tidak merata, di masa sekarang, sekolah rakyat akan dijadikan perlawanan terhadap dominasi logika pasar bebas yang juga sama, diskriminatif dan terbatas pada orang berpunya sehingga kaum miskin tidak dapat menikmatinya.
Tentu, hadirnya sekolah rakyat belum mengakomodir sepenuhnya cita-cita ideal ‘Pendidikan sebagai alat pembebas’. Apa sebab?
Bangsa kita masih terperangkap logika kapitalisme-imperialisme yang tengah sekarat, yang darinya tidak saja membuat pendidikan menjadi mahal, tetapi juga membuat kelas buruh menjadi tidak sejahtera, birokrasi pemerintahan menjadi bobrok, aparat penegak hukum amoral, kepolisian represif dan menindas, perempuan dijadikan kelas dua dan masalah-masalah akut lain yang susul menyesul dan tak terhindarkan. Jangan biarkan tanah air kita dikuasa modal asing dan kekuasaan global!.
Penulis : Syamsul Ma'arif, Sekretaris Jenderal EN LMND