Indonesia di Tengah Pertarungan Dua Blok: Antara Kepentingan Nasional dan Perang Ekonomi Global
![]() |
Ilustrasi perang dagang antar Amerika Serikat Vs Tiongkok. Gambar ilustrasi shutterstock |
Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya seperti NATO mengusung sistem kapitalisme global.
Gagasan sosialisme sempat mendapat tempat di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Tiongkok.
Kebijakan ekonomi Tiongkok yang agresif dan berbasis teknologi kerap dipandang sebagai ancaman oleh Amerika Serikat.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa negara seperti Indonesia yang bukan bagian dari pertarungan utama malah harus menerima dampaknya?
Dalam konteks global saat ini, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto resmi menjabat dan menghadiri forum BRICS—koalisi negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, India, dan beberapa negara berkembang lainnya—Indonesia tampak semakin condong ke arah blok Timur.
Dalam forum tersebut, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia secara resmi bergabung ke dalam BRICS.
Salah satu agenda penting dalam pertemuan tersebut adalah wacana penggantian dominasi dolar AS dalam transaksi global dengan mata uang baru seperti BitCoin.
Namun tentu saja, isu ini tidak hanya soal mata uang. Ada tarik-menarik kepentingan geopolitik dan perdagangan internasional yang berusaha mengurangi dominasi AS atas sistem keuangan global.
Meskipun tidak mudah untuk menggeser pengaruh ekonomi Amerika Serikat, langkah Indonesia masuk ke BRICS menandai babak baru dalam politik luar negeri Indonesia. Posisi Indonesia kini terlihat lebih dekat dengan blok Timur, baik secara ekonomi maupun strategis.
Dengan konstelasi global yang terus berubah, Indonesia harus bijak membaca arah angin. Karena dalam perang ekonomi global ini, netralitas bukan lagi soal sikap politik, tapi soal keberanian menentukan arah pembangunan nasional.
Penulis: Fendi Tanu