Indonesia di Tengah Pertarungan Dua Blok: Antara Kepentingan Nasional dan Perang Ekonomi Global

Ilustrasi perang dagang antar Amerika Serikat Vs Tiongkok. Gambar ilustrasi shutterstock


Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia melalui para pemimpin revolusionernya telah menegaskan posisi nonblok—tidak berpihak pada kekuatan kapitalis Barat maupun blok sosialis Timur.

Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya seperti NATO mengusung sistem kapitalisme global. 

Sebaliknya, Blok Timur yang dahulu didominasi Uni Soviet (sekarang Rusia) mendorong gagasan sosialisme sebagai alternatif. 

Pertarungan ideologis antara dua poros inilah yang melatari berbagai konflik dunia sejak Perang Dunia II, hingga kini mempengaruhi lanskap politik dan ekonomi global.

Gagasan sosialisme sempat mendapat tempat di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Tiongkok. 

Namun, secara historis, Tiongkok menempuh jalan yang unik: memadukan perencanaan ekonomi terpusat demi kesejahteraan rakyat dengan mekanisme pasar bebas berbasis digitalisasi—mewujudkan apa yang kerap disebut sebagai “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok” atau “sosialisme setengah pasar.”

Kebijakan ekonomi Tiongkok yang agresif dan berbasis teknologi kerap dipandang sebagai ancaman oleh Amerika Serikat. 

Intervensi AS terhadap perdagangan Tiongkok pun makin kentara, termasuk pelarangan penggunaan aplikasi asal Tiongkok seperti TikTok serta penerapan tarif impor yang tinggi. 

Baru-baru ini, AS bahkan menaikkan bea masuk produk asal Tiongkok dari 10% menjadi 245%, dan dari Indonesia dari 32% menjadi 47%—meskipun kemudian mengalami penyesuaian pasca intervensi diplomatik dari Menteri Luar Negeri Indonesia.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa negara seperti Indonesia yang bukan bagian dari pertarungan utama malah harus menerima dampaknya?

Dalam konteks global saat ini, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto resmi menjabat dan menghadiri forum BRICS—koalisi negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, India, dan beberapa negara berkembang lainnya—Indonesia tampak semakin condong ke arah blok Timur. 

Dalam forum tersebut, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia secara resmi bergabung ke dalam BRICS.

Salah satu agenda penting dalam pertemuan tersebut adalah wacana penggantian dominasi dolar AS dalam transaksi global dengan mata uang baru seperti BitCoin. 

Namun tentu saja, isu ini tidak hanya soal mata uang. Ada tarik-menarik kepentingan geopolitik dan perdagangan internasional yang berusaha mengurangi dominasi AS atas sistem keuangan global.

Meskipun tidak mudah untuk menggeser pengaruh ekonomi Amerika Serikat, langkah Indonesia masuk ke BRICS menandai babak baru dalam politik luar negeri Indonesia. Posisi Indonesia kini terlihat lebih dekat dengan blok Timur, baik secara ekonomi maupun strategis.

Dengan konstelasi global yang terus berubah, Indonesia harus bijak membaca arah angin. Karena dalam perang ekonomi global ini, netralitas bukan lagi soal sikap politik, tapi soal keberanian menentukan arah pembangunan nasional.

Penulis: Fendi Tanu

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url