May Day 2025: Kontradiksi Buruh Vs Kapitalisme Makin Menajam?
![]() |
Mayday 2025 |
Hari Buruh Internasional yang diperingati setiap 1 Mei bukanlah sekadar momen seremonial tahunan. Ia adalah simbol perjuangan panjang kelas pekerja yang selama ini berada di bawah tekanan sistem kapitalisme yang eksploitatif dan negara yang abai.
Pada 1 Mei 2025 ini, seruan perlawanan terhadap kapitalisme dan kritik terhadap negara kembali mengemuka—bukan hanya sebagai ekspresi kemarahan, tetapi sebagai bentuk kesadaran politik yang semakin matang.
Kapitalisme selama ini menghadirkan ilusi kemajuan dan kesejahteraan.
Namun dibalik narasi pertumbuhan ekonomi, tersimpan kenyataan pahit: eksploitasi waktu, tenaga, dan kehidupan buruh demi akumulasi laba bagi segelintir pemilik modal.
Sistem kerja 8 jam per hari, yang secara historis diperjuangkan oleh buruh abad ke-19, kini justru menjadi alat legitimasi penindasan di era modern.
Jam kerja panjang tidak diiringi dengan upah layak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60% buruh di Indonesia masih menerima upah di bawah kebutuhan hidup layak (KHL).
Di sisi lain, pemilik modal terus meraup keuntungan, sementara buruh tetap hidup dalam ketidakpastian.
Tidak hanya itu, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menghantui jutaan pekerja.
Dalam sistem kapitalisme, buruh dianggap semata-mata sebagai input produksi yang bisa dibuang kapan saja saat dianggap tidak lagi efisien.
Negara, yang seharusnya hadir sebagai pelindung rakyat, justru bersikap diam, atau bahkan bersekongkol melalui kebijakan-kebijakan pro-pemodal.
Undang-Undang Cipta Kerja adalah salah satu contoh nyata.
Di bawah dalih meningkatkan investasi, regulasi ini justru melonggarkan perlindungan terhadap pekerja, memperluas sistem kontrak, dan melemahkan posisi tawar serikat buruh.
Lebih ironis lagi, di tengah krisis kesehatan global yang belum sepenuhnya pulih, buruh tetap tidak mendapatkan jaminan kesehatan yang layak.
Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2024 menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan tingkat perlindungan sosial pekerja terendah di Asia Tenggara.
Ini adalah bukti kegagalan negara dalam menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya: melindungi segenap rakyat Indonesia.
Namun demikian, tidak semua berita adalah kabar buruk.
Di tengah ketimpangan dan ketidakadilan struktural ini, tumbuh kesadaran baru di kalangan buruh. Kesadaran politik kelas pekerja kian tajam dan progresif.
Mereka tidak lagi semata-mata menuntut upah, tetapi mempertanyakan sistem yang melahirkan ketimpangan itu sendiri.
Perjuangan buruh kini juga mencakup hak untuk hidup layak, hak berserikat, serta hak untuk menentukan arah kebijakan ekonomi dan politik yang selama ini dimonopoli oleh elit dan pemilik modal.
Oleh karena itu, Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025 adalah momen refleksi dan aksi.
Ini adalah hari di mana suara buruh harus terdengar nyaring, bukan untuk merayakan, tetapi untuk menyatakan perlawanan terhadap sistem yang menindas.
Kapitalisme bukan hanya harus dikritik—ia harus dilawan dan digantikan dengan sistem yang menjunjung tinggi keadilan sosial, kesetaraan ekonomi, dan martabat manusia.
Mengapa buruh harus melawan kapitalisme?
Karena kapitalisme secara sistematis mengeksploitasi tenaga kerja demi keuntungan segelintir elite pemilik modal.
Di bawah sistem ini, buruh dipaksa bekerja selama 8 jam atau lebih setiap hari, tetapi upah yang diberikan tidak setara dengan nilai kerja yang mereka hasilkan.
Ini adalah bentuk eksploitasi terselubung yang dilegalkan oleh negara melalui kebijakan dan regulasi yang pro-pemodal.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sekitar 61% buruh di Indonesia masih menerima upah di bawah kebutuhan hidup layak (KHL).
Padahal produktivitas pekerja Indonesia meningkat tiap tahun, tapi upah riil justru stagnan.
Ini menandakan bahwa akumulasi keuntungan tidak dinikmati oleh mereka yang menghasilkan, melainkan oleh para pemilik modal yang hidup dari kerja orang lain.
Kapitalisme juga menciptakan kondisi kerja yang tidak aman dan tidak stabil. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus terjadi di berbagai sektor industri.
Hanya pada kuartal pertama tahun 2025, lebih dari 270.000 buruh mengalami PHK akibat efisiensi perusahaan—yang sebenarnya merupakan dalih untuk memaksimalkan profit, Negara? Diam.
Tidak ada intervensi serius dari pemerintah. Bahkan, perlindungan terhadap buruh makin dilemahkan melalui regulasi seperti UU Cipta Kerja yang melanggengkan kerja kontrak, outsourcing, dan fleksibilisasi tenaga kerja.
Ironisnya, buruh juga tidak dijamin hak-hak dasarnya seperti jaminan kesehatan dan jaminan sosial.
Laporan ILO tahun 2024 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan perlindungan sosial terendah bagi pekerja di Asia Tenggara.
Ini adalah bentuk kegagalan negara dalam menjalankan peran konstitusionalnya sebagai pelindung rakyat.
Namun yang membuat kapitalisme gentar adalah tumbuhnya kesadaran politik di kalangan buruh.
Kelas pekerja hari ini semakin sadar bahwa mereka bukan sekadar objek produksi, melainkan kekuatan politik yang mampu mengubah tatanan.
Perlawanan tidak lagi bersifat reaktif, tetapi semakin terorganisir dan progresif. Buruh tidak hanya menuntut upah layak, tapi juga keadilan struktural.