Sejarah Majapahit: Mengapa Padjajaran dan Madura tidak Ditaklukan?
![]() |
Alasan kerajaan Padjajaran dan Kerajaan Madura tidak ditaklukan oleh Majapahit. Sumber foto: situs Kibrispdr |
MindsetBanten.com - Kerajaan Majapahit selalu menarik untuk diulas meski rentang waktunya sudah cukup jauh dengan saat ini.
Apalagi untuk saya yang sedikitnya senang dengan tema sejarah, mengarungi Majapahit yang sudah masa lalu itu sangat menyenangkan. Bukan karena tak bisa move on dan lantas menginginkan Indonesia kembali menjadi kerajaan, tapi lebih kepada, entahlah saya tak bisa menuliskannya.
Dalam artikel ini saya ingin coba membahas mengenai alasan tidak ditaklukannya kerajaan Padjajaran dan Madura oleh Majapahit, yang disebut-sebut kontras dengan sumpah 'palapa' sang Mahapatih Gadjah Mada.
Sebagai kesatria yang tidak ingin melanggar sumpahnya sendiri, Mahapatih sempat nekat dan memaksakan diri untuk menaklukan kerajaan tersebut, khususnya Padjajaran, karena ia anggap kalau dua kerajaan itu terlarang ditaklukan, itu sama artinya menurunkan wibawa Gadjah Mada, karena dicemooh sebagai tidak adil. Kerajaan-kerajaan lain yang jauh saja ditaklukan, kenapa yang dekat tidak.
Ini pulalah yang akhirnya melatar belakangi terjadinya perang Bubat dan membuat Prabu Maharaja Linggabuana (Maharaja Sunda) dan putrinya, Dyah Pitaloka terbunuh. Perang tak seimbang ini sepenuh-penuhnya atas inisiasi dan kepicikan Gadjah Mada.
Kerajaan Majapahit adalah satu dari sekian banyak kerajaan di Indonesia yang paling besar. Disegani lawan maupun kawan.
Kerajaan yang didirikan oleh Sanggrama Wijaya dari trah Tumapel tersebut menemui titik kejayaannya, yakni pada masa Sri Rājasanagara atau Hayam Wuruk berkuasa pada tahun 1350-1389 dan merupakan pewaris kerajaan generasi keempat.
Setelah berhasil mematahkan kekuatan Syailendra, saudara dan sekaligus iparnya, Sang Sanna menegakkan lagi kekuasaan Mataram warisan ibundanya. Namun, ia meninggalkan kedaton lama dan membangun kedaton baru di sebelah timur ibu kota lama. Sang Sanna memberi banyak anugerah kepada mereka yang berjasa membantunya. Putera Maharishi Bhannu Wangi ia angkat sebagai raja muda.
Kepada mereka yang setia ia bagi-bagikan tanah simha. Sang Sanna termasyhur sebagai maharaja agung dan bijaksana yang disegani kawan maupun lawan. Bahkan saudaranya, Syailendra, yang kalah itu diampuni dan dibiarkan hidup sebagai raja yang berkuasa di pantai utara.
Kekuasaan Sang Sanna diwariskan kepada puteranya, Rake J ambri, yang masyhur disebut Sang Ratu Sanjaya. Sang Ratu Sanjaya menyatakan diri sebagai penguasa Mataram (ibu). Ratu Sanjaya inilah dhatu leluhur raja-raja Sunda dan raja-raja Jawa dari Sanjayawangsa. Sementara, Syailendra menjadi dhatu leluhur raja-raja Jawa dan raja-raja Sriwijaya dari Sailendrawangsa.
Apalagi untuk saya yang sedikitnya senang dengan tema sejarah, mengarungi Majapahit yang sudah masa lalu itu sangat menyenangkan. Bukan karena tak bisa move on dan lantas menginginkan Indonesia kembali menjadi kerajaan, tapi lebih kepada, entahlah saya tak bisa menuliskannya.
Dalam artikel ini saya ingin coba membahas mengenai alasan tidak ditaklukannya kerajaan Padjajaran dan Madura oleh Majapahit, yang disebut-sebut kontras dengan sumpah 'palapa' sang Mahapatih Gadjah Mada.
Sebagai kesatria yang tidak ingin melanggar sumpahnya sendiri, Mahapatih sempat nekat dan memaksakan diri untuk menaklukan kerajaan tersebut, khususnya Padjajaran, karena ia anggap kalau dua kerajaan itu terlarang ditaklukan, itu sama artinya menurunkan wibawa Gadjah Mada, karena dicemooh sebagai tidak adil. Kerajaan-kerajaan lain yang jauh saja ditaklukan, kenapa yang dekat tidak.
Ini pulalah yang akhirnya melatar belakangi terjadinya perang Bubat dan membuat Prabu Maharaja Linggabuana (Maharaja Sunda) dan putrinya, Dyah Pitaloka terbunuh. Perang tak seimbang ini sepenuh-penuhnya atas inisiasi dan kepicikan Gadjah Mada.
Kerajaan Majapahit adalah satu dari sekian banyak kerajaan di Indonesia yang paling besar. Disegani lawan maupun kawan.
Kerajaan yang didirikan oleh Sanggrama Wijaya dari trah Tumapel tersebut menemui titik kejayaannya, yakni pada masa Sri Rājasanagara atau Hayam Wuruk berkuasa pada tahun 1350-1389 dan merupakan pewaris kerajaan generasi keempat.
Lalu apa alasannya Padjajaran tidak boleh ditaklukan? Apakah Majapahit takut dan tidak berani? Mengapa pasca perang Bubat Padjajaran tidak melakukan serangan balik?
Leluhur Raja-raja Jawa dan Sunda
Tentu, sikap kerabat kerajaan terhadap Mahapatih bukanlah tanpa alasan. Meski merestui sumpahnya untuk menaklukan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, Padjajaran adalah pengecualian tersendiri.Untuk tidak menaklukan Madura sudah jelas, karena kerajaan itu sebagai konsekuensi dari sumpah Raden Wijaya terhadap Arya Wiraraja yang akan memberikan Madura secara otonom jika Majapahit dapat menghancurkan Kediri. Karena waktu itu, Arya Wiraraja turut andil dan banyak memberikan kontribusinya untuk suksesi kerajaan Majapahit.
Sementara larangan untuk tidak menaklukan Padjajaran adalah, karena kerajaan yang ada di tatar Sunda ini leluhurnya masih satu darah dengan raja-raja di Jawa.
Cerita tentang masih adanya ikatan darah antara leluhur raja Sunda dan Jawa ini diutarakan oleh Raden Walangsungsang, ketika dirinya bercakap-cakap dengan Syekh Siti Jenar yang diriwayatkan dam Buku "Suluk Sang Pembaharu Perjuangan dan Ajaran Syeh Siti Jenar" karangan Agus Sunyoto.
Begini ulasan singkatnya.
Pada masa akhir pemerintahan Prabu Stri Bhattari
Parwati Tunggal Prthiwi, dhatu leluhur Bhattari Prthiwi, terjadi juga perselisihan perebutan takhta berdasarkan hak kepewarisan garis bapak dan ibu.
Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi, yang saat muda bernama Ratu Juwa, adalah puteri Kartikeyasingha Sang Nrpati Dewasimha dengan Sri Maharani Simha, maharaja Kalingga.
Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi adalah raja Madang Mataram yang beribu kota di Pragawatipura, di sekitar tempuran Sungai Praga dan Sungai Helo. Menurut cerita, Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi menikah dengan Prabu Purbasora, sepupunya, dan memiliki dua keturunan, yaitu Sang Sannaha dan Rakryan Narayana.
Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi yang diam-diam tertarik dengan ajaran Shakta-Bhairawa sering berhubungan dengan raja Galuh, Prabu Kalakutha Sang Racun Agung (Sang Mandi Minyak), yang menjadi penganut Bhairawa-Tantra.
Sementara larangan untuk tidak menaklukan Padjajaran adalah, karena kerajaan yang ada di tatar Sunda ini leluhurnya masih satu darah dengan raja-raja di Jawa.
Cerita tentang masih adanya ikatan darah antara leluhur raja Sunda dan Jawa ini diutarakan oleh Raden Walangsungsang, ketika dirinya bercakap-cakap dengan Syekh Siti Jenar yang diriwayatkan dam Buku "Suluk Sang Pembaharu Perjuangan dan Ajaran Syeh Siti Jenar" karangan Agus Sunyoto.
Begini ulasan singkatnya.
Pada masa akhir pemerintahan Prabu Stri Bhattari
Parwati Tunggal Prthiwi, dhatu leluhur Bhattari Prthiwi, terjadi juga perselisihan perebutan takhta berdasarkan hak kepewarisan garis bapak dan ibu.
Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi, yang saat muda bernama Ratu Juwa, adalah puteri Kartikeyasingha Sang Nrpati Dewasimha dengan Sri Maharani Simha, maharaja Kalingga.
Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi adalah raja Madang Mataram yang beribu kota di Pragawatipura, di sekitar tempuran Sungai Praga dan Sungai Helo. Menurut cerita, Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi menikah dengan Prabu Purbasora, sepupunya, dan memiliki dua keturunan, yaitu Sang Sannaha dan Rakryan Narayana.
Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi yang diam-diam tertarik dengan ajaran Shakta-Bhairawa sering berhubungan dengan raja Galuh, Prabu Kalakutha Sang Racun Agung (Sang Mandi Minyak), yang menjadi penganut Bhairawa-Tantra.
Dari pelbagai upacara Pancamakara, Ma-lima, akhirnya lahirlah anak Sang Mandi Minyak, yaitu Sang Sanna. Semula Sang Mandi Minyak enggan mengakui Sang Sanna sebagai anak. ltu sebabnya, Sang Sanna dibuang dan dibesarkan di "tegal ksetra".
Akhirnya, Sang Mandi Minyak mengakui Sang Sanna sebagai anak setelah melihat tanda-tanda menakjubkan dari anak tersebut. Setelah Sang Sanna dewasa, ia dinikahkan dengan saudarinya, Sang Sannaha.
Lantaran riwayat Sang Sanna sejak lahir hingga menikah dianggap keliru maka ia kerap disebut orang dengan nama lain: Salah.
Ketika Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi mangkat, dia didharmakan di daerah barat ibu kota Pragawatipura, tepatnya ditepi timur Sungai Wluku-loh Oawa Kuno: sungai bajak, subur).
Pendharmaan itu disucikan sebagai Kerajaan Leluhur oleh para keturunannya. Bertolak dari nama Parwati Tunggal Prthiwi itulah pendharmaan itu kemudian disebut Kabhumian (Sansekerta, Prthiwi: bumi, dunia, tanah) yang bermakna wilayah khusus Sang Bhumi.
Kabhumian tempat Stri Bhattari Parwati Tunggal
Prthiwi didharmakan itulah yang menjadi pusat
wilayah suci Kerajaan Mat.aram (Sansekerta, Mataram ibu negeri, tanah air) yang mendatangkan kemakmuran.
Daerah di sekitar Kabhumian disebut Patanahan (kediaman sang tanah, bumi). Kawasan berlimpah kesuburan yang membentang antara Sungai Wluku-loh dan Sungai Praga yang sering dijadikan medan perang perebutan takhta diantara keturunan Sang Bhumi kemudian disebut dengan nama Bagelen (Sansekerta: Bhaga-halina : warisan ibu yang subur).
Seiring mangkatnya Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi terjadilah perebutan takhta. Rakryan Narayana yang telah diberi bagian wilayah utara ingin menguasai seluruh wilayah kekuasaan ibundanya.
Dengan dukungan bala tentara dari lndraprasta yang dipimpin Dapunta Hyang Syailendra, Rakryan Narayana berhasil merebut takhta Mataram. lbu kota Pragawatipura diduduki dan ia dinobatkan sebagai maharaja Mataram dengan gelar Syailendra.
Sang Sannaha dan Sang Sanna berhasil lolos dari ibu kota Pragawatipura. Mereka menyingkir ke arah utara ke kawasan antara Gunung Chandramukha (Merbabu) dan Gunung Chandrageni (Merapi). Atas jasa Maharishi Bhannu Mas, Sang Sannaha yang sedang hamil tua diungsikan ke timur, ke kediaman Maharishi Bhannu Wangi, saudara kembar Maharishi Bhannu Mas.
Di sana, di tanah timur itu, lahirlah putera Sang Sannaha yang diberi nama Rake J ambri. Akhirnya, Sang Sanna dengan sisa-sisa prajuritnya memimpin serangan menghadapi kekuatan Syailendra yang didukung oleh Indraprasta. Sang Sanna berhasil menghalau pasukan Indraprasta dari Pragawatipura dan memburu hingga pangkalan induknya di Pamiridan.
Di Pamiridan pasukan Indraprasta yang bergabung dengan induknya bertempur sengit melawan pasukan Mataram yang dipimpin Sang Sanna. Dalam sebuah pertempuran sengit, pasukan Mataram berhasil mematahkan kekuatan pasukan Indraprasta yang mundur ke arah barat.
Orang-orang bilang, konon, tempat pasukanMataram berhasil memukul mundur pasukan Indraprasta itu diabadikan dengan nama Balapulang (Jawa Kuno:bala tentara kembali).
Akhirnya, Sang Mandi Minyak mengakui Sang Sanna sebagai anak setelah melihat tanda-tanda menakjubkan dari anak tersebut. Setelah Sang Sanna dewasa, ia dinikahkan dengan saudarinya, Sang Sannaha.
Lantaran riwayat Sang Sanna sejak lahir hingga menikah dianggap keliru maka ia kerap disebut orang dengan nama lain: Salah.
Ketika Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi mangkat, dia didharmakan di daerah barat ibu kota Pragawatipura, tepatnya ditepi timur Sungai Wluku-loh Oawa Kuno: sungai bajak, subur).
Pendharmaan itu disucikan sebagai Kerajaan Leluhur oleh para keturunannya. Bertolak dari nama Parwati Tunggal Prthiwi itulah pendharmaan itu kemudian disebut Kabhumian (Sansekerta, Prthiwi: bumi, dunia, tanah) yang bermakna wilayah khusus Sang Bhumi.
Kabhumian tempat Stri Bhattari Parwati Tunggal
Prthiwi didharmakan itulah yang menjadi pusat
wilayah suci Kerajaan Mat.aram (Sansekerta, Mataram ibu negeri, tanah air) yang mendatangkan kemakmuran.
Daerah di sekitar Kabhumian disebut Patanahan (kediaman sang tanah, bumi). Kawasan berlimpah kesuburan yang membentang antara Sungai Wluku-loh dan Sungai Praga yang sering dijadikan medan perang perebutan takhta diantara keturunan Sang Bhumi kemudian disebut dengan nama Bagelen (Sansekerta: Bhaga-halina : warisan ibu yang subur).
Seiring mangkatnya Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi terjadilah perebutan takhta. Rakryan Narayana yang telah diberi bagian wilayah utara ingin menguasai seluruh wilayah kekuasaan ibundanya.
Dengan dukungan bala tentara dari lndraprasta yang dipimpin Dapunta Hyang Syailendra, Rakryan Narayana berhasil merebut takhta Mataram. lbu kota Pragawatipura diduduki dan ia dinobatkan sebagai maharaja Mataram dengan gelar Syailendra.
Sang Sannaha dan Sang Sanna berhasil lolos dari ibu kota Pragawatipura. Mereka menyingkir ke arah utara ke kawasan antara Gunung Chandramukha (Merbabu) dan Gunung Chandrageni (Merapi). Atas jasa Maharishi Bhannu Mas, Sang Sannaha yang sedang hamil tua diungsikan ke timur, ke kediaman Maharishi Bhannu Wangi, saudara kembar Maharishi Bhannu Mas.
Di sana, di tanah timur itu, lahirlah putera Sang Sannaha yang diberi nama Rake J ambri. Akhirnya, Sang Sanna dengan sisa-sisa prajuritnya memimpin serangan menghadapi kekuatan Syailendra yang didukung oleh Indraprasta. Sang Sanna berhasil menghalau pasukan Indraprasta dari Pragawatipura dan memburu hingga pangkalan induknya di Pamiridan.
Di Pamiridan pasukan Indraprasta yang bergabung dengan induknya bertempur sengit melawan pasukan Mataram yang dipimpin Sang Sanna. Dalam sebuah pertempuran sengit, pasukan Mataram berhasil mematahkan kekuatan pasukan Indraprasta yang mundur ke arah barat.
Orang-orang bilang, konon, tempat pasukanMataram berhasil memukul mundur pasukan Indraprasta itu diabadikan dengan nama Balapulang (Jawa Kuno:bala tentara kembali).
Setelah berhasil mematahkan kekuatan Syailendra, saudara dan sekaligus iparnya, Sang Sanna menegakkan lagi kekuasaan Mataram warisan ibundanya. Namun, ia meninggalkan kedaton lama dan membangun kedaton baru di sebelah timur ibu kota lama. Sang Sanna memberi banyak anugerah kepada mereka yang berjasa membantunya. Putera Maharishi Bhannu Wangi ia angkat sebagai raja muda.
Kepada mereka yang setia ia bagi-bagikan tanah simha. Sang Sanna termasyhur sebagai maharaja agung dan bijaksana yang disegani kawan maupun lawan. Bahkan saudaranya, Syailendra, yang kalah itu diampuni dan dibiarkan hidup sebagai raja yang berkuasa di pantai utara.
Kekuasaan Sang Sanna diwariskan kepada puteranya, Rake J ambri, yang masyhur disebut Sang Ratu Sanjaya. Sang Ratu Sanjaya menyatakan diri sebagai penguasa Mataram (ibu). Ratu Sanjaya inilah dhatu leluhur raja-raja Sunda dan raja-raja Jawa dari Sanjayawangsa. Sementara, Syailendra menjadi dhatu leluhur raja-raja Jawa dan raja-raja Sriwijaya dari Sailendrawangsa.