Tradisi dan Budaya Indonesia yang Masih Eksis, Jangan Kaget kalau ke Papua Ada Acara Potong Jari

Tradisi Budaya yang masih eksis di Indonesia
Tradisi dan budaya di Indonesia yang masih eksis hingga sekarang.


MindsetBanten.com - Di Indonesia bukan suatu hal yang aneh jika ditemukan banyak budaya yang sangat beragam. Sebagai negara kepulauan yang memiliki sejarah panjang, Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan besar dan kecil dengan budaya, keyakinan dan etniknya yang berbeda-beda.

Budaya-budaya tetinggal leluhur itu tidak semuanya punah meski sudah menjadi Indonesia. Malahan tetap lestari hingga sekarang ditengah hiruk pikuk modernisasi yang lonjakannya amat cepat. 

Patut rasanya bagi kita sekarang berbangga diri terhadap aneka ragam budaya yang kita punya untuk mengenal bahwa demikianlah bangsa Indonesia sesungguhnya, yang beraneka ragam itu, yang pada gilirannya mengharuskan kita untuk "Bhineka Tunggal Ika".

Berikut ini budaya-budaya di Indonesia yang masih eksis dan lestari hingga sekarang.

1. Gigi Runcing Suku Mentawai [Kalimantan]

Suku yang tak kalah unik, juga ada di Indonesia adalah Suku Mantawi. Dalam suku ini, takaran seorang wanita tergolong cantik atau tidak diukur dari bagaimana bentuk gigi mereka.

Semakin giginya dibuat meruncing, maka akan semakin cantik ia. Selain karena bentuk gigi, bentuk telinga yang memanjang juga sangat berperan penting di komunitas adat ini untuk menambah paras elok seorang wanita.

Terakhir, yang kerap dianggap bergajulan oleh masyarakat pada umumnya namun amat penting bagi perempuan Suku Mentawi adalah memenuhi tubuhnya dengan Tato.

2. Bakar Tongkang [Riau]

Kalau tradisi lain biasanya bernuansa ngeri dan menggelitik, tradisi di Bagansiapiapi, Kepulauan Riau ini justru hambur akan uang karena ritual tradisinya dengan cara membakar Tongkang. Aneh bukan?

Tradisi yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa setiap bulan Juli ini konon telah terjadi sejak ratusan tahun lalu oleh leluhur-leluhur mereka dengan tujuan memperkokoh tekad untuk tidak kembali ke tempat asal.

Makna lainnya adalah upacara peringatan dewa laut Ki Ong Ya dan Tai Su Ong yang digambarkan sebagai dewa dua sisi.

3. Tradisi Potong Jari [Papua]

Selain yang bersifat memenuhi kebutuhan spiritual, ada pula di Indonesia sebuah budaya yang ekstrim, meskipun tradisi/kebiasaan seperti ini bukanlah satu-satunya, yakni Potong Jari. Tradisi yang ditinggalkan oleh Suku Dani, Papua ini filosofinya konon ditujukan untuk menggambarkan kesedihan seseorang karena ditinggal oleh salah satu anggota keluarganya.

Jari di dalam suku Dani ini memiliki simbol yang sangat fundamental karena merepresentasikan kerukunan, kebersatuan, dan kekuatan dalam diri manusia ataupun sebuah keluarga.

Karena hanya jarilah yang antar satu dengan yang lain saling menopang dan bisa saling rukun meskipun berbeda. Sedemikian itu cara mereka membangun relasi keluarga yang secara alamiah ditetesi oleh darah yang sama dengan diperkuat melalui simbol-simbol.

4. Ritual Tiwah [Kalimantan Tengah]

Ada cara yang sangat biasa dan lumrah bagi orang yang beragama saat menyelenggarakan ritual bagi orang yang telah meninggal. Yang biasa itu setidak-tidaknya dengan cara dikebumikan dan ngaben.

Uniknya, ada salah satu budaya di Indonesia yang proses ritualnya ternyata sangat berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh umat beragama ketika salah seorang di komunitas budaya itu meninggal, yakni Ritual Tiwah.

Ritual Tiwah sendiri merupakan tradisi spiritual yang biasa dilakukan oleh Suku Dayak, Kalimantan Tengah untuk menangani orang yang talah menemui ajalnya.

Upacara Tiwah ini biasa dilakukan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke sebuah rumah yang disebut Sandung.

Ritual ini bertujuan untuk meluruskan perjalanan arwah menuju Lewu Tatau atau surga. Tak hanya itu, konon ritual ini juga dimaksudkan untuk melepaskan kesialan bagi keluarga yang sudah ditinggalkan.

5. Tradisi Adu Betis [Sulawesi Selatan]

Adu betis merupakan sebuah tradisi yang biasa berlaku di komunitas adat, Dusun Paroto, Desa Sanaeko, Barebbo, Bone, Sulawesi Selatan, sebagai bentuk syukuran para petani atas panen yang sedang jatuh musimnya.

Entah apa relevansi tradisi ini dengan anugerah panen yang tengah dilalui masyarakat disana. Adu betis yang diritualkan melalui permainan Malanca ini pada musimnya tetap diikuti masyarakat secara antusias.

6. Seba [Banten]

Suku Baduy dikenal luas sebagai suku yang menutup diri dari kehidupan luar dan masih mempertahankan kearifan lokal nenek moyang di era modern ini.

Meski begitu, ada kalanya ribuan orang Baduy keluar dari desa dan berjalan kaki hingga hampir 100 kilometer untuk memberikan hasil panen kepada Ibu Gede dan Bapak Gede yang bertempat di kota Serang. Yang dimaksud dengan “Ibu dan Bapak Gede” adalah Bupati Lebak dan Gubernur Banten.

Tradisi Seba ini dilakukan oleh Suku Baduy untuk menjaga persaudaraan serta wujud ungkapan syukur kepada pemerintah setempat layaknya sebuah upeti yang diberikan pada kerajaan.

7. Tradisi Pemakaman Suku Minahasa [Sulawesi Utara]

Masih di bagian Sulawesi, tepatnya di bagian utara, terdapat Suku Minahasa yang dalam proses pemakaman seseorang tergolong bikin merinding. Dalam tradisi mereka, jenazah yang hendak diistirahatkan di tempat terakhirnya dilakukan dengan cara memosisikan jenazah duduk sambil memeluk kakinya bukan dalam posisi tidur.

Tradisi pemakaman seperti ini menurut kepercayaan melambangkan keadaan suci dan membawa kebaikan. Selain harus dalam posisi duduk, arah posisi mayat harus menghadap ke arah utara. Hal ini disebabkan karena cerita turun temurun dari nenek moyang orang Minahasa.

8. Kawin Culik [Lombok]

Suku Sasak di Desa Sade, Lombok, memiliki tradisi pernikahan kawin culik. Dalam tradisi ini, sebelum menikah, si perempuan harus diculik terlebih dahulu. Hingga saat ini, tradisi kawin culik masih berlangsung.

Jika dua orang suka sama suka, sang perempuan harus dibuat seolah-olah diculik sebelum mereka menikah. Sepasang calon pengantin tersebut kemudian sepakat bertemu di depan pohon cinta.

Selanjutnya, calon pengantin pria membawa calon istrinya kabur selama 1-3 hari. Keluarga pihak perempuan tidak boleh tahu saat proses penculikan.

Setelah itu, perwakilan keluarga laki-laki datang untuk menyampaikan bahwa sang anak telah diculik, dan pernikahan bisa dilangsungkan.

9. Kawin Colong [Suku Using]

Di Banyuwangi, masyarakat adat Using mengenal istilah kawin colong. Artinya, menikah dengan membawa lari pasangan terlebih dahulu. Kawin colong terjadi karena salah satu atau kedua orangtua tak sepakat. Hal ini bisa karena sudah dijodohkan atau beda status sosial.

Dalam tradisi kawin colong, orang yang berperan penting menjadi perantara hubungan adalah colok. Colok dianggap sebagai juru damai atau penyampai pesan.

Jika tak ada colok, pernikahan akan berjalan tanpa restu. Biasanya, keluarga laki-laki mencari orang yang berpengaruh, seperti sesepuh desa atau ulama sebagai colok.

Tujuannya, agar orangtua pihak perempuan segan serta bisa luluh hatinya. Kawin colong menggambarkan kearifan masyarakat Using menghadapi persoalan.

10. Pasola [Nusa Tenggara Timur]

Pasola merupakan sebuah tradisi yang dilakukan setahun sekali oleh warga Kampung Kodi, Kampung Lamboya, Kampung Wanokaka, dan Kampung Garoa di wilayah Sumba Barat.

Tradisi berupa adu ketangkasan menggunakan kuda dan lembing ini merupakan puncak acara dari Pesta Adat Nyale yang dilakukan untuk memohon restu terhadap dewa dan nenek moyang menjelang musim panen tiba.

Dalam pelaksanaan Pasola, dua “Ksatria Sumba” akan menunggangi kuda dan menyerang satu sama lain menggunakan tongkat kayu. Darah yang jatuh pada arena Pasola dianggap mampu membuat tanah mereka subur sehingga hasil panen berlimpah.

11. Ma’nene [Toraja, Sulawesi Selatan]

Warga di Kabupaten Toraja memiliki sebuah ritual unik yang diberi nama Ma’Nene. Ritual yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk berkunjung ke Tana Toraja ini dilakukan dengan cara mengeluarkan jasad anggota keluarga dari pemakaman, lalu jasad tersebut dibersihkan dan diganti pakaiannya.

Tak jarang jasad-jasad ini dibalut dengan rangkaian pakaian yang lengkap dari mulai jas untuk jasad pria, serta gaun untuk jasad perempuan.

Ritual unik yang dilaksanakan tiap tiga tahun sekali ini memiliki makna akan pentingnya menjaga hubungan kepada sesama anggota keluarga, bahkan dengan anggota keluarga yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia.

12. Mekare-kare [Bali]

Pulau Bali juga menyimpan sebuah tradisi unik yang dilakukan oleh para lelaki di Desa Tenganan Pegringsingan sebagai sebuah persembahan bagi Dewa Indra.

Dalam tradisi ini, pria-pria dari desa tersebut akan melakukan pertunjukan perang dengan menggunakan daun pandan berduri sebagai senjata serta perisai rotan untuk menangkis serangan lawan. Setelah melakukan ritual ini, semua peserta Mekare-kare akan duduk dan menyantap makanan bersama-sama sambil diobati luka-lukanya.


Pewarta: Syamsul Ma'arif
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url