Pemerintah Desa Maidi Terkesan Ugal-ugalan dalam Menjalankan Roda Pemerintahan

 

Ilustrasi gambar/to pixabay 


Pemerintahan desa merupakan lembaga resmi yang memiliki dasar hukum kuat dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara tegas mengatur bagaimana desa harus dikelola—berbasis pada prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan profesionalisme. 

Namun, jika melihat praktik pemerintahan di Desa Maidi belakangan ini, tampak jelas bahwa sejumlah prinsip dan ketentuan hukum tersebut terabaikan. 

Pemerintah Desa Maidi seolah menjalankan roda pemerintahan dengan cara yang ugal-ugalan, tanpa menghormati ketentuan normatif yang berlaku dan tanpa mengedepankan kepentingan warga desa secara luas.

Dalam Pasal 24 UU Desa disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa harus berdasarkan asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat. 

Namun yang terjadi di Desa Maidi justru sebaliknya. Banyak keputusan yang dibuat tanpa melalui Musyawarah Desa (Musdes) yang seharusnya menjadi wadah deliberatif antara pemerintah desa dan masyarakat. 

Pengabaian terhadap Musdes ini merupakan pelanggaran terhadap hak masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan.

Pengelolaan keuangan desa diatur secara tegas dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. 

Peraturan ini mengharuskan pemerintah desa menyusun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), serta laporan pertanggungjawaban yang terbuka kepada publik. 

Di Desa Maidi, laporan anggaran tidak dipublikasikan secara layak, papan informasi proyek kerap tidak dipasang, dan warga tidak mengetahui bagaimana dana desa digunakan. 

Ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas transparansi dan dapat menjadi celah penyalahgunaan anggaran yang harus ditindak secara hukum.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan hak kepada setiap warga untuk mengetahui informasi publik, termasuk informasi tentang anggaran dan kebijakan desa. 

Ketika pemerintah desa menutup-nutupi informasi atau bahkan merespons kritik dengan intimidasi, maka itu bukan hanya tindakan otoriter, tetapi juga pelanggaran hukum yang berpotensi ditindak secara administratif bahkan pidana.

Sikap arogansi oknum pemerintah desa yang tidak melayani keluhan masyarakat, bahkan menolak kritik, bertentangan dengan prinsip pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 

Dalam undang-undang tersebut, pemerintah desa sebagai penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan terbuka. 

Tindakan semena-mena terhadap warga yang menyuarakan haknya bisa menjadi pelanggaran serius atas etika pemerintahan.

Perlu dicatat bahwa kepala desa dan perangkatnya bisa dikenai sanksi sesuai Pasal 28 UU Desa jika terbukti menyalahgunakan wewenang, melanggar sumpah jabatan, atau tidak melaksanakan tugas pemerintahan dengan baik. 

Sanksi ini bisa berupa teguran, pemberhentian sementara, bahkan pemberhentian tetap. 

Oleh karena itu, tindakan-tindakan ugal-ugalan yang terstruktur dan berlangsung terus-menerus bukan hanya merugikan masyarakat, tapi juga bisa menyeret pelakunya ke ranah pidana atau administratif.

Dalam konteks ini, lembaga pengawasan seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), inspektorat kabupaten, dan bahkan aparat penegak hukum harus bertindak cepat dan tegas. 

Pembiaran atas pola pemerintahan yang menyimpang dari hukum hanya akan memperparah ketidakpercayaan publik dan membuka ruang terjadinya korupsi, kolusi, serta nepotisme (KKN) di tingkat akar rumput.

Sebagai masyarakat, kita juga perlu menyadari bahwa hukum memberikan ruang bagi partisipasi warga dalam pengawasan, termasuk melalui mekanisme pengaduan resmi, permintaan informasi publik, hingga pelaporan ke Ombudsman atau kejaksaan. 

Hak-hak ini dijamin oleh negara dan wajib digunakan agar pemerintahan berjalan di atas rel hukum, bukan atas dasar kepentingan segelintir elite desa.

Hukum bukan hanya sekadar kumpulan pasal di atas kertas, melainkan panduan hidup bernegara yang menjamin keadilan dan keteraturan. 

Ketika pemerintah Desa Maidi menjalankan kekuasaannya dengan ugal-ugalan dan bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka hal itu bukan hanya mencoreng martabat pemerintahan lokal, tetapi juga mengkhianati amanat rakyat dan konstitusi. 

Pembenahan mutlak diperlukan, baik dari dalam melalui reformasi kepemimpinan, maupun dari luar melalui tindakan hukum yang tegas dan menyeluruh.


Penulis: M. Ghazali Faraman Anggota Ikatan Pelajar Mahasiswa Maidi (IPMMA)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url