4 Peristiwa penting Jelang Proklamasi: Malaysia Sepakat Gabung Dengan Indonesia tapi Batal, Kenapa?
![]() |
Dokumentasi Soekarno-Hatta dengan Ibrahim Yaacob saat bertemu di Taiping, Perak, 13 Agustus 1945 untuk membicarakan bergabungnya Malaya dengan Indonesia. Doc foto Facebookcom |
Dalam detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Agustus tahun 1945, banyak peristiwa penting yang jarang diketahui, bahkan ada yang tak tertulis dalam buku sejarah sekolah.
Melansir buku karangan Bambang Setyo Supriyanto dan Titin Nurhayati Ma’mun berjudul, 'Dinamika Perumusan DASAR FALSAFAH NEGARA RI dan Implementasinya' dicatat peristiwa-peristiwa penting menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Setidaknya, ada 4 peristiwa penting menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dirangkum MindsetBanten dari rujukan buku tersebut.
1. Wacana Malaya Bergabung Dengan Indonesia
Desas-desus Indonesia akan segera merdeka sudah semakin tampak di depan mata pada saat itu, apalagi sejak Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu dalam perang di Asia Timur yang diumumkan langsung oleh Kaisar Hirohito dalam pidatonya di Radio, “Jepang Mengakhiri Perlawanan.”
Dalam detik-detik kemerdekaan ini, kabar akan bergabungnya Semenanjung Malaya dalam Kesatuan Republik Indonesia juga telah mencapai sepakat melalui pertemuan-pertemuan penting para tokoh bangsa.
Dalam detik-detik kemerdekaan ini, kabar akan bergabungnya Semenanjung Malaya dalam Kesatuan Republik Indonesia juga telah mencapai sepakat melalui pertemuan-pertemuan penting para tokoh bangsa.
Dalam buku itu juga disebutkan, persiapan kemerdekaan Malaya bersama Indonesia telah dimulai sejak Juli 1945 melalui reorganisasi Kesatuan Melayu Muda (KMM) menjadi Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung) yang dipimpin oleh Kol. Ibrahim Yacoob, Dr. Burhanuddin Elhulaimy, Onan Siradj dan para pemimpin lama di KMM.
Menurut Ibrahim Yaacob, KMM semacam Jong Java dan Jong Sumatra di Indonesia, merupakan pelopor perjuangan Nasional di Malaya pertama yang menentang Imperialis Inggris dengan dasar politik non-cooperation, yang menuntut Malaya merdeka atas dasar kesadaran Nasional yang luas bertujuan mempersatukan Malaya dengan ikatan Indonesia Raya agar seluruh suku bangsa Melayu menjadi sebuah bangsa yang besar di Asia Tenggara.
Saat akan mengadakan perundingan tentang rencana detail Malaya bergabung dengan Indonesia dengan panglima militer Jepang untuk Asia Tenggara di Saigon (Vietnam) pada 8 Agustus 1945, KRIS juga bersedia mengibarkan sang saka merah putih saat utusan Indonesia (Soekarno-Hatta) tiba di tempat pertemuan. Pertemuan dimaksud dilangsungkan di Taiping, Malaya Tengah.
Setelah berunding sejenak, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Malaya akan mengutus delapan delegasi ke Jakarta untuk turut memproklamasikan kemerdekaan.
Saat pertemuan selesai dan hendak pergi, 12 Agustus 1945, keduanya berjabat tangan dan saling berucap janji setia. Soekarno mengatakan:
"Marilah kita bangunkan satu Negara Ibu buat seluruh tumpah darah Indonesia".
Menurut Ibrahim Yaacob, KMM semacam Jong Java dan Jong Sumatra di Indonesia, merupakan pelopor perjuangan Nasional di Malaya pertama yang menentang Imperialis Inggris dengan dasar politik non-cooperation, yang menuntut Malaya merdeka atas dasar kesadaran Nasional yang luas bertujuan mempersatukan Malaya dengan ikatan Indonesia Raya agar seluruh suku bangsa Melayu menjadi sebuah bangsa yang besar di Asia Tenggara.
Saat akan mengadakan perundingan tentang rencana detail Malaya bergabung dengan Indonesia dengan panglima militer Jepang untuk Asia Tenggara di Saigon (Vietnam) pada 8 Agustus 1945, KRIS juga bersedia mengibarkan sang saka merah putih saat utusan Indonesia (Soekarno-Hatta) tiba di tempat pertemuan. Pertemuan dimaksud dilangsungkan di Taiping, Malaya Tengah.
Setelah berunding sejenak, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Malaya akan mengutus delapan delegasi ke Jakarta untuk turut memproklamasikan kemerdekaan.
Saat pertemuan selesai dan hendak pergi, 12 Agustus 1945, keduanya berjabat tangan dan saling berucap janji setia. Soekarno mengatakan:
"Marilah kita bangunkan satu Negara Ibu buat seluruh tumpah darah Indonesia".
Ibrahim Yaacob lantas menjawab: "Kami orang Melayu di Malaya dengan setia untuk turut membangunkan Negara Ibu, dengan Malaya bersatu dalam Indonesia Merdeka."
Seiring gentingnya situasi Internasional dengan menyerahnya Jepang pada sekutu, akhirnya rencana penyatuan Malaya bersama dengan Indonesia gagal meskipun utusan dari Malaya sudah dipersiapkan untuk terbang ke Jakarta.
Seiring gentingnya situasi Internasional dengan menyerahnya Jepang pada sekutu, akhirnya rencana penyatuan Malaya bersama dengan Indonesia gagal meskipun utusan dari Malaya sudah dipersiapkan untuk terbang ke Jakarta.
Indonesia memproklamirkan diri pada 17 Agustus 1945 tanpa Malaya dan Kalimantan bagian Utara.
Dan KRIS juga melangsungkan Kongresnya sendiri di Kuala Lumpur di tanggal yang sama, meski di hasil Kongres disebutkan bahwa perjuangan kemerdekaan Malaya bersama Indonesia akan tetap diteruskan melalui Malay Nationalist Party.
Hari itu Sutan Syahrir menemui Soekarno untuk menyampaikan berita tersebut, dan mendesak supaya memproklamasikan kemerdekaan di depan radio atas nama rakyat.
2. Penculikan Soekarno-Hatta dan Penulisan Teks Proklamasi
Dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Abdul Haris Nasution menulis, Selasa 14 Agustus 1945 dunia mendengarkan permakluman Presiden Truman (AS) dan Perdana Menteri Attlee tentang menyerahnya Jepang tanpa syarat. Juga pidato radio Kaisar Hirohito yang menyatakan, "Jepang mengakhiri perlawanan".Hari itu Sutan Syahrir menemui Soekarno untuk menyampaikan berita tersebut, dan mendesak supaya memproklamasikan kemerdekaan di depan radio atas nama rakyat.
"Janganlah dilakukan oleh Panitia Persiapan agar kelak Sekutu tidak mencap Republik sebagai buatan Jepang".
Namun Soekarno menolaknya, karena dirinya terikat dengan Jepang
Sehubungan dengan berita tersebut, Rabu 15 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta segera mengundang Panitia Persiapan Kemerdekaan untuk sidang pada (16 Agustus 1945) pagi esok harinya di Gedung Dewan Sanyo (eks Volksraad sekarang Kementerian Luar Negeri) di Jalan Pejambon. Pada hari itu pula, menurut Nasution, Hatta merancang teks Proklamasi untuk diajukan dalam rapat keesokan harinya.
Kamis, 16 Agustus 1945 di Jakarta terjadi dua pertemuan.
Namun Soekarno menolaknya, karena dirinya terikat dengan Jepang
Sehubungan dengan berita tersebut, Rabu 15 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta segera mengundang Panitia Persiapan Kemerdekaan untuk sidang pada (16 Agustus 1945) pagi esok harinya di Gedung Dewan Sanyo (eks Volksraad sekarang Kementerian Luar Negeri) di Jalan Pejambon. Pada hari itu pula, menurut Nasution, Hatta merancang teks Proklamasi untuk diajukan dalam rapat keesokan harinya.
Kamis, 16 Agustus 1945 di Jakarta terjadi dua pertemuan.
Pertama, pertemuan anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan di Pejambon, yang tidak dihadiri oleh pengundangnya, karena keduanya pada pagi harinya diculik ke Rengasdengklok oleh kaum muda pimpinan Soekarni.
Kedua, pertemuan pemuda-pemuda Barisan Pelopor dan PETA di Kebon Binatang (sekarang Taman ismail Marzuki, Cikini). Pemuda yang komandonya di asrama Prapatan 10, ungkap Nasution, merencanakan untuk merebut stasiun radio dan menyiarkan proklamasi pada 17 Agustus 1945 pukul 01.00 dinihari, tetapi gagal karena mereka kurang persiapan.
Sementara Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda pimpinan Soekarni (Murba), sehingga mereka membebaskan Soekarno dan Hatta untuk kembali ke Jakarta.
Sementara Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda pimpinan Soekarni (Murba), sehingga mereka membebaskan Soekarno dan Hatta untuk kembali ke Jakarta.
Laksamana Maeda menyediakan rumahnya di Nassau boulevard (sekarang Jaian Imam Bonjol) untuk pertemuan para pemimpin Indonesia. Di rumah itulah Panitia Persiapan Kemerdekaan berunding dengan pemuda dan pemimpin lainnya tentang isi dan pelaksanaan proklamasi.
Dalam pertemuan Kamis, 16 Agustus 1945 malam itu Soekarno-Hatta tetap memegang peranan utama. (Nasution, 1973).
Dengan demikian, yang dibacakan saat proklamasi bukanlah hasil-hasil dari rapat badaan persiapan kemerdekaan yang telah disusun dengan sedemikian rapi.
Dengan demikian, yang dibacakan saat proklamasi bukanlah hasil-hasil dari rapat badaan persiapan kemerdekaan yang telah disusun dengan sedemikian rapi.
Namun justru teks proklamasi yang kita kenal sekarang. Padahal, sesuai dengan rencana awal, yang akan dibacakan itu adalah "Pernyataan Indonesia Merdeka" yang sekarang menjadi preambul Undang-undang Dasar sampai alinea ke-3
Menurutnya, dengan keberadaan kata itu akan berakibat besar terhadap pemeluk Agama lain:
Akibatnya akan besar sekali, umpamanya terhadap agama lain.
3. Upaya Menghilangkan Tujuh Kata dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Dalam siding di Badan Persiapan Kemerdekaan RI, Rabu, 11 Juli 1945, Johanes Latuharhay memang tegas menolak kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dimasukan dalam pembukaan Undang-undang Dasar/ Piagam Jakarta.Menurutnya, dengan keberadaan kata itu akan berakibat besar terhadap pemeluk Agama lain:
Akibatnya akan besar sekali, umpamanya terhadap agama lain.
Maka dari itu saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun itu berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam.
Meskipun menjadi perdebatan tersendiri antara kelompok Nasionalis Sekuler dan kelompok agama mengenai kata tersebut, pada akhirnya kata tersebut tetap dimasukan melalui kompromi yang alot.
Namun belakangan, Johanes Latuharhay tidak merasa puas dengan kompromi ini dan tetap ingin menghilangkan kata itu dengan berbagai cara dan upaya.
Latuharhary ketika mensosialisasikan rancangan Pembukaan Undang Undang Dasar dan Undang Undang Dasar yang telah disepakati oleh Badan Penyelidik kepada para utusan Kaigun di Surabaya, Ahad 12 Agustus 1945, juga meyakinkan penolakannya terhadap klausul Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang termaktub dalam (rancangan) Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar.
Hatta mengaku, Jum'at sore 17 Agustus 1945, dia ditelepon oleh Nishiyama. Pembantu Admiral (Laksamana) Maeda itu menanyakan kepadanya, apa dia dapat menerima opsir Kaigun yang hendak menyampaikan hal yang sangat penting bagi Indonesia. (Hatta dalam Memoir Mohammad Hatta, 1979) Hatta mempersilakan,
Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Mereka mengakui, bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi dengan tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. (Memoir Mohammad Hatta, 1979).
Pengakuan Hatta lantas dibantah oleh Nishiyama:
Sejak Proklanasi tidak ada orang jepang yang bertamu ke rumah Hatta (termasuk dirinya sendiri).
Dalam "Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (1997)" O.E. Engelen, Aboe Bakar Loebis, F. Pattiasina, Abdullah Ciptoprawiro, Soejone Joedodibroto, Oetarjo, dan Idris Siregar menulis:
Meskipun menjadi perdebatan tersendiri antara kelompok Nasionalis Sekuler dan kelompok agama mengenai kata tersebut, pada akhirnya kata tersebut tetap dimasukan melalui kompromi yang alot.
Namun belakangan, Johanes Latuharhay tidak merasa puas dengan kompromi ini dan tetap ingin menghilangkan kata itu dengan berbagai cara dan upaya.
Latuharhary ketika mensosialisasikan rancangan Pembukaan Undang Undang Dasar dan Undang Undang Dasar yang telah disepakati oleh Badan Penyelidik kepada para utusan Kaigun di Surabaya, Ahad 12 Agustus 1945, juga meyakinkan penolakannya terhadap klausul Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang termaktub dalam (rancangan) Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar.
4. Tidak Ada Utusan Dari Timur Yang Menolak Preambul Undang-undang Dasar
PENGABAIAN terhadap hasil keputusan musyawarah rumusan wakil-wakil dari berbagai golongan bangsa Indonesia dalam Badan Penyelidik masih berlanjut.Hatta mengaku, Jum'at sore 17 Agustus 1945, dia ditelepon oleh Nishiyama. Pembantu Admiral (Laksamana) Maeda itu menanyakan kepadanya, apa dia dapat menerima opsir Kaigun yang hendak menyampaikan hal yang sangat penting bagi Indonesia. (Hatta dalam Memoir Mohammad Hatta, 1979) Hatta mempersilakan,
Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Mereka mengakui, bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi dengan tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. (Memoir Mohammad Hatta, 1979).
Pengakuan Hatta lantas dibantah oleh Nishiyama:
Sejak Proklanasi tidak ada orang jepang yang bertamu ke rumah Hatta (termasuk dirinya sendiri).
Dalam "Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (1997)" O.E. Engelen, Aboe Bakar Loebis, F. Pattiasina, Abdullah Ciptoprawiro, Soejone Joedodibroto, Oetarjo, dan Idris Siregar menulis:
"Yang memberitahu Bung Hatta pertelepon adalah mahasiswa Prapatan 10. Yang mendatangi Hatta adalah Piet Mamahit, Moeljo dan Imam Slamet".
Markas gerakan Mahasiswa ketika itu ada di Jalan Prapatan 10 (di bawah pengaruh Eri Soedewo/Sjahrir, sekarang Kantor Ditjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan 93 Kantor Wilayah VII), Menteng Raya 31 (di bawah pengaruh Soebardjo, sekarang Gedung Juang), dan Kramat Raya 19 (Balai Muslimin, tempat gerakan Islam, sekarang kantor PT Pertamina).
Jum'at sore 17 Agustus 1945 pukul 17.00 diutuslah 3 orang mahasiswa (Prapatan 10). Mereka menyampaikan alasan-alasan yang dikemukakan oleh wakil-wakil dari Indonesia Timur (dimotori oleh Latuharharry, mantan anggota Badan Penyelidik).
Ketiganya. Piet Mamahit Moeljo, dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angatan Laut, sehingga orang mengiranya sebagai orang Jepang.
"Wajah Imam Slamet seperti orang Cina, badannya pendek, jadi mirip seperti orang Jepang," tulis mereka
Pencoretan sebelum rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada 18 Agustus 1945 secara kronologis ditulis oleh Ridwan Saidi (2007) dalam Piagam Jakarta, Tinjauan Hukum dan Sejarah.
Gagasan pencoretan "tujuh kata" itu berasal dari Latuharhary, karena ia sebelumnya menjadi anggota Badan Penyelidik yang ikut membahasnya.
Markas gerakan Mahasiswa ketika itu ada di Jalan Prapatan 10 (di bawah pengaruh Eri Soedewo/Sjahrir, sekarang Kantor Ditjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan 93 Kantor Wilayah VII), Menteng Raya 31 (di bawah pengaruh Soebardjo, sekarang Gedung Juang), dan Kramat Raya 19 (Balai Muslimin, tempat gerakan Islam, sekarang kantor PT Pertamina).
Jum'at sore 17 Agustus 1945 pukul 17.00 diutuslah 3 orang mahasiswa (Prapatan 10). Mereka menyampaikan alasan-alasan yang dikemukakan oleh wakil-wakil dari Indonesia Timur (dimotori oleh Latuharharry, mantan anggota Badan Penyelidik).
Ketiganya. Piet Mamahit Moeljo, dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angatan Laut, sehingga orang mengiranya sebagai orang Jepang.
"Wajah Imam Slamet seperti orang Cina, badannya pendek, jadi mirip seperti orang Jepang," tulis mereka
Pencoretan sebelum rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada 18 Agustus 1945 secara kronologis ditulis oleh Ridwan Saidi (2007) dalam Piagam Jakarta, Tinjauan Hukum dan Sejarah.
Gagasan pencoretan "tujuh kata" itu berasal dari Latuharhary, karena ia sebelumnya menjadi anggota Badan Penyelidik yang ikut membahasnya.
Latuharhary (pegawai Gunseikan yang diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan) mengajak Dr. Sam Ratulangi dan Mr. I Gusti Ktut Pudja (anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang sebelumnya bukan anggota Badan Penyelidik) untuk melakukan perubahan terhadap "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta.
Mereka menghubungi utusan dari Kalimantan dan Sulawesi agar gagasannya menjadi absah sebagai berasal dari wilayah Indonesia Timur.
Mereka menghubungi utusan dari Kalimantan dan Sulawesi agar gagasannya menjadi absah sebagai berasal dari wilayah Indonesia Timur.
Kelima orang ini mencari dukungan kelompok mahasiswa, dan berhasil meyakinkan mahasiswa Prapatan 10, sehingga mengalihkannya menjadi tanggung jawab mahasiswa.
Piet Mamahit dan Imam Slamet menghubungi Hatta, dan Hatta menyetujui gagasan perubahan Piagam Jakarta, serta berjanji akan menyampaikan ide itu dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan.
Namun faktanya, Hatta merealisasikan melalui lobby sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan, sehingga dalam sidang tinggal membacakan perubahan tersebut, karena para anggota memang belum menerima naskahnya pada saat sidang berlangsung.
Namun faktanya, Hatta merealisasikan melalui lobby sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan, sehingga dalam sidang tinggal membacakan perubahan tersebut, karena para anggota memang belum menerima naskahnya pada saat sidang berlangsung.