Titik Nadir Ekologi Demokrasi

Recky pamungkas Sekretaris Eksekutif Wilayah LMND Banten/sumber foto: Recky

Keragaman hayati dan sosial di Indonesia, negeri sepenggal surga di Asia Tenggara ini telah diliputi oleh Revolusi Industri. Tidak disangka Revolusi Industri hanya berlangsung dalam rentang waktu sekitar 300 tahun, menciptakan gejolak pembangunan yang membuat implikasi buruk. 

Suhu rata-rata global mencapai 1,11°C dengan emisi karbon 36,3 gigaton pada 2021, tertinggi sepanjang sejarah dan Indonesia termasuk sebagai negara penyumbang terbesar ke-5 sekitar 4,1%. 

Emisi karbon dihasilkan akibat ⅓ penggunaan lahan dan ⅔ energi fosil (batu bara, minyak dan gas). 7 tahun terakhir (2015-2021) sebagai tahun terpanas. Persoalan lama belum juga tuntas, yaitu wabah, perang dan kemiskinan, kini krisis iklim menjadi persoalan mengkhawatirkan dan hanya dapat diselesaikan secara internasional. Dunia harus menata ulang tatanan, kepemimpinan sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologis.

Krisis, tanda dari sebuah sistem yang kehilangan relevansi. Kualitas taraf hidup kontemporer memang ditandai melalui teknologi canggih, manual beralih menjadi otomatis; penguatan kapasitas produksi, elektrifikasi, digitalisasi dan konektivitas. 

Batas antara realitas imajiner dan fisik semakin memudar seperti film Free Guy. Berbagai aspek terdisrupsi secara komperhensif sangat cepat; pola hidup manusia, bekerja dan berinteraksi bahkan struktur sosial. Sekiranya manusia di kemudian hari hanya perlu ide-ide brilian saja, segala hal teknis diambil alih oleh teknologi. 

Namun pemanasan global menjadi bukti bahwa ekosistem memiliki batas dan waktu pemulihan. Kita sampai pada katastrofi, titik balik perubahan tiba, pemberlakuan tatanan dipermukaan bumi dan dikolong langit tidak layak huni apabila model seperti sekarang terus dilanjutkan. 

Pembangunan inklusif harus terealisasi, seiring pemerataan dan keberlanjutan dengan kepemimpinan yang menyertai keragaman hayati maupun sosial Indonesia sehingga mampu berkembang sesuai karakteristiknya masing-masing. 

Selama ini demokrasi berlangsung secara tersentral pada kalangan elit. Konsolidasi semakin terjalin erat sejak (setidaknya) 2019, ironisnya, akses informasi dan partisipasi masyarakat luas tertutup rapat. 

Ruang publik teramat sempit, pelayanan terbentur hambatan. Bahkan institusi pendidikan tidak memiliki kebebasan akademik maupun mimbar, ilmu pengetahuan mengalami stagnasi. 

Sementara oligarki penuh dukungan dalam mempertahankan dan meningkatkan kekayaan, 64 juta rakyat kesulitan hidup melalui Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang hanya bergantung kepada korporasi besar. 

Adapun platform digital semakin berkembang menyentuh berbagai sektor menawarkan berbagai pekerjaan kemitraan, tetap meletakkan relasi kuasa dengan merentankan hubungan kerja; perlindungan teknis, ekonomi maupun sosial. 

Sungguh bias dan paradoks. 26,16 juta penduduk masih berada di garis kemiskinan pada Maret dan 8,4 juta jumlah pengangguran dari 144,01 juta angkatan kerja pada Februari 2022. 

Selain itu, media sosial sebagai rekayasa digital sedemikian pesat, sangat memberikan keluasan ruang publik alternatif, namun proletar siber bernama buzzer secara simultan menyerang dengan kontra narasi, kriminalisasi meningkat. 

Pengawasan sepihak serupa peredaran CCTV di ruang publik perkotaan memperkuat monopoli dan mengingat perang di Ukraina mulai menyebar ke kawasan asia, keamanan siber menjadi urgensi sekaligus terlibat dalam perdamaian dunia, bukan hanya sebatas perlindungan data administratif, melainkan data empiris dan biologis yang dapat disabotase, segalanya menjadi komoditas. 

Disparitas meningkat antara sehat dan sakit, bijak dan bodoh, kaya dan miskin serta kuat dan lemah. Indeks demokrasi mengalami penurunan dan apabila dihitung sejak reformasi, pertumbuhan ekonomi sangat lambat.

Apabila ekosistem merupakan landasan bagi keberlangsungan tatanan harmonis, pangan merupakan landasan bagi keberlangsungan hidup manusia dan pendidikan merupakan landasan bagi keberlangsungan progresivitas, maka energi menjadi dasar bagi keberlangsungan suatu negara. 

Ironis, keberpihakan Indonesia terhadap perubahan iklim tergolong rendah, namun terhadap oligarki sektor energi fosil (ekstraktivisme) sangat tinggi hingga Indonesia mendapatkan rekor global sebagai negara terburuk (lambat) di asia tenggara dalam transisi energi, setidaknya sampai 2021. 

Rata-rata konsumsi energi nasional 2012-2021 mencapai 900 juta barel setara minyak, sekitar 89% dihasilkan dari energi fosil (batu bara 38%, minyak 32% dan gas 19%) dan 65% diperoleh melalui impor. 

Bahkan sampai 2050, persentase target Kebijakan Energi Nasional mengenai energi ramah lingkungan hanya 31% dan energi fosil 69% (batu bara 25%, minyak 20% dan gas 24%). 

Krisis iklim sudah nyata terjadi dan peran energi yang sangat signifikan, artinya selain daripada kebutuhan energi ramah lingkungan, kemandirian energi juga menjadi prioritas bagi Indonesia.

Negara akan selamanya menjadi kesepakatan kolektif sebagai realitas imajiner, dipertanggungjawabkan melalui kehendak melindungi martabat, nyawa dan harta-benda para penduduk serta ekosistemnya. 

Pemimpin selayaknya menjadi representasi kehendak rakyat; merdeka dari pengekangan, damai dari ancaman dan adil dari penindasan; memfasilitasi ruang publik yang ekspresif, edukatif dan rekreatif dalam membentuk keterampilan, sehingga seluruh potensi sumber daya dapat teraktualisasi. 

Dan teknologi membebaskan manusia untuk produktivitas, bukan membebaskan manusia dari produktivitas.

Keberadaan manusia dan semesta merupakan ekosistem yang utuh berdialektika sebagai subjek, persaingan berebut dominasi menenangkan hegemoni antara antroposentrisme dan kosmosentrisme bukan suatu pilihan, melainkan ketunggalan organisme, bukan suatu pilihan. 

Tatanan harmoni demokrasi kita berada dibawah pimpinan kebijaksanaan, bukan kekayaan maupun kekuasaan.


Penulis: Recky Pamungkas


_________

DAFTAR RUJUKAN

REGULASI

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).


BUKU

Harari, Yuval Noah, 2011, Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya, Yanto Musthofa, 2017, PT Pustaka Alvabet: Tangerang Selatan.

Harari, Yuval Noah, 2015, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, Yanto Musthofa, 2018, PT Pustaka Alvabet: Tangerang Selatan.

Power, Thomas dan Eve Warburton, 2020, Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi, 2021, Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.

Mathews, David, 2014, Ekologi Demokrasi: Temukan cara-cara yang kuat untuk memiliki kehidupan dalam membentuk masa depan, Barikatul Hikmah, 2017, PARA Syndicate: Jakarta.

Zuboff, Shoshana, The Age of Surveillance Capitalisme: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power, 2019, PublicAffairs: New York.


JURNAL

Prisma, Setengah Abad Prisma, Vol. 40, No. 4, 2021, LP3ES: Depok.

IndoProgress, Pandemi di Asia yang Neoliberal, Vol 1, No. 01, 2021.


MEDIA ONLINE

Organisasi Meteorologi Dunia, 2021, State of the Global Climate, www.wmo.com (diakses pada 22 Agustus 2022).

Fabby Tumiwa, 2021, Membandingkan Aksi Iklim G20 Menuju Net Zero, Institute for Essential Services Reform (IESR), www.climate-transparency.org (diakses pada 22 Agustus 2022).

Ashraf, Muqsit dan Roberto Bocca, 2022, Five steps to get industries on track for net zero, www.weforum.org (diakses pada 22 Agustus 2022).

wel, 2022, DEN: RI Masih Bergantung pada Energi Fosil sampai 2050, www.cnnindonesia.com (diakses pada 22 Agustus 2022).

Kasih, Ayunda Pininta, 2022, Sejarah Revolusi Industri 1.0 hingga 4.0 dan Perbedaannya, www.kompas.com (diakses pada 22 Agustus 2022).

Gita Wirjawan, 2022, Faisal Basri: Prioritas Kita Berbenah, Bukan Pindah | Endgame S3E22, www.youtube.com (diakses pada 23 Agustus 2022).

Gita Wirjawan, 2022, Kupas Tren dan Gejolak Ekonomi Dunia dalam 30 menit | Endgame The Take #12, www.youtube.com (diakses pada 23 Agustus 2022).

Akbar Faizal Uncensored, 2021, Budiman Sudjatmiko: “Proyek Silicon Valley Indonesia | AF Uncensored, www.youtube.com (diakses pada 23 Agustus 2022).

Gita Wirjawan, 2021, Keadilan (Token) Sosial Bagi Seluruh Talenta - Sabrang Mowo Damar Panuluh | Endgame S3E04, www.youtube.com (diakses pada 24 Agustus 2022).

IC The Real Show, 2022, Ukraina vs Rusia: Merosotnya Dominasi Barat - Ichsanuddin Noorsy & Chusnul Mariyah, www.yotube.com (diakses pada 24 Agustus 2022).

Desi Intan Sari, 2022, 10 Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesar, Indonesia Kelima, www.kompas.com (diakses pada 25 Agustus 2022).

Dana Aditiasari, 2022, Gas Bumi RI Melimpah, Bisa Jadi Modal Transisi ke Energi Bersih, www.finance.detik.com (diakses pada 25 Agustus 2022).

Dendi Siswanti, 2022, BPS: Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Turun Jadi 26,16 Juta Jiwa pada Kuartal I 2022, www.nasional.kontan.co.id (diakses pada 25 Agustus 2022).

Badan Pusat Statistik, 2022, Februari 2022: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,83 persen dar Rata-rata upah buruh sebesar 2,89 juta rupiah per bulan, www.bps.go.id (diakses pada 25 Agustus 2022).

Viva Budy Kusnandar, 2022, Terdampak Pandemi, Bagaimana Tren Konsumsi Energi Indonesia?, www.databoks.katadata.co.id (diakses pada 25 Agustus 2022).

Adi Ahdiat, 2022, Emisi Karbon Global Meningkat pada 2021, Tertinggi Sepanjang Sejarah, www.databoks.katadata.co.id (diakses pada 25 Agustus 2022).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url