Tembok Perbatasan dan Hak Warga Imbate: Antara Keamanan dan Ketidakadilan

Pembangunan tembok perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste di Desa Imbate, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), seharusnya menjadi simbol perlindungan dan kedaulatan negara. 

Namun di sisi lain, proyek ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar tentang keadilan, transparansi, dan partisipasi masyarakat perbatasan yang menjadi pihak paling terdampak.

1. Perlindungan Hak dan Kompensasi bagi Warga

Idealnya, pembangunan tembok perbatasan harus melindungi hak-hak semua warga negara yang tinggal di sekitar wilayah tersebut. 

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian warga Desa Imbate merasa kurang dilibatkan dan bahkan kehilangan sebagian lahan tanpa kejelasan status dan kompensasi yang layak.

Berdasarkan wawancara informal dengan beberapa warga, sebagian besar mengaku tidak mendapatkan ganti rugi yang adil. 

Padahal, menurut prinsip keadilan sosial dan regulasi seperti UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, setiap warga yang tanahnya terdampak proyek negara berhak atas ganti rugi yang layak, transparan, dan bermartabat.

2. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan

Pembangunan yang baik seharusnya berbasis partisipasi. Namun, proyek tembok perbatasan ini tampaknya lebih banyak ditentukan secara top-down, tanpa konsultasi mendalam dengan warga lokal.

Masyarakat Imbate yang selama ini hidup berdampingan dengan warga di seberang (Timor Leste) memiliki relasi sosial, budaya, bahkan kekerabatan lintas batas. Karena itu, pembangunan tembok tanpa mempertimbangkan aspek sosial ini dapat memutus hubungan kemanusiaan yang telah terjalin turun-temurun.

3. Perspektif Budaya, Sosial, dan Historis

Wilayah Imbate bukan sekadar batas teritorial; ia adalah ruang hidup masyarakat adat Biinmaffo yang memiliki nilai sejarah panjang sejak masa kerajaan-kerajaan lokal. Perspektif ini sering diabaikan oleh pendekatan pembangunan yang lebih militeristik dan administratif.

Seharusnya, pemerintah memperhatikan konteks budaya lokal agar tembok perbatasan tidak menjadi “tembok pemisah sosial”, melainkan simbol kolaborasi dan keamanan bersama.

4. Transparansi dan Akuntabilitas Proyek

Salah satu persoalan mendasar adalah kurangnya keterbukaan informasi mengenai anggaran dan pelaksanaan proyek. 

Warga kesulitan mengakses data mengenai besaran dana, pelaksana proyek, serta dasar hukum pembangunannya.

Dalam konteks demokrasi lokal, masyarakat berhak untuk mengetahui dan mengkritisi kebijakan publik sebagaimana dijamin dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). 

Tanpa transparansi, pembangunan mudah disalahgunakan dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah daerah maupun pusat.

5. Jalan Tengah: Pembangunan Berbasis Dialog

Pemerintah perlu meninjau kembali pendekatan pembangunan di wilayah perbatasan, khususnya di Imbate.

Pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada aspek keamanan negara, tetapi juga harus memperhatikan aspek kemanusiaan dan sosial budaya warga setempat.

Dialog antara pemerintah, TNI, dan masyarakat lokal menjadi penting agar kebijakan pembangunan perbatasan tidak menimbulkan luka sosial baru.

Dengan partisipasi aktif masyarakat, proyek ini dapat menjadi sarana memperkuat persaudaraan dan kemandirian warga perbatasan, bukan justru mengalienasi mereka dari tanah leluhur sendiri.


Penulis: Florida Seuk Leki Mahasiswa Aktif Universitas Timor Program Studi Administrasi negara 
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url