Antara Kuasa dan Rasa, Politik Bisa Mulia Bisa Luka
Ketika berbicara politik, kita akan membayangkan suatu perbuatan yang kotor dan
buruk, tak lupa pula melabeli para politikus sebagai pendosa. Apakah itu benar
adanya? Jawabannya tidak selalu benar dan tidak juga salah, karena setiap
jawabannya sama-sama didasari sumber pengetahuan. Naahh, kali ini saya ingin
menuliskan mengapa setiap jawaban dari pertanyaan itu bisa dibenarkan dan
bersumber pengetahuan.
Politik.
Politik adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Di
Indonesia, dalam bahasa Jawa, dikatakan gemah ripah loh jinawi. Bahasa
Batak mengatakan Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon (3H). Orang Yunani Kuno,
terutama Plato dan Aristoteles, menamakannya sebagai eudaimonia atau
the good life dalam bahasa Inggris.
Pendapat itu saya simpulkan dari
beberapa pandangan para tokoh-tokoh terkenal seperti Plato dan Aristoteles yang
menganggap politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik
(polity) yang terbaik. Peter Merki: “Politik dalam bentuk yang paling
baik adalah usaha untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan
berkeadilan.”
Lalu, bagaimana cara mencapai tujuan yang mulia itu? Usaha itu
dapat dicapai dengan beragam cara yang menjadikannya banyak perspektif mengenai
politik. Menurut saya, ada empat unsur yang harus dimiliki, yaitu:
1. Kekuasaan
(power);
2. Pengambilan keputusan (decision making);
3. Kebijakan
publik (public policy);
4. Alokasi atau distribusi (allocation or distribution).
Jika kita hanya memiliki satu unsur, saya pikir tujuan yang mulia tadi tidak
akan tercapai. Contohnya, jika kita memiliki kekuasaan tapi tidak memiliki
pengambilan keputusan yang tepat, sama halnya kita telah menyelewengkan
kekuasaan. Jika kita mengambil suatu keputusan tetapi tidak memiliki kekuasaan,
itu adalah hal yang mustahil. Begitu pula dengan kebijakan publik dan
distribusi—tanpa unsur lain, semuanya timpang.
Selanjutnya, jika kita hanya
memiliki atau paham satu unsur saja, maka pemahaman kita terkait politik stuck
di unsur tersebut. Contoh, seseorang hanya paham unsur kekuasaan (power),
maka kerja-kerja politiknya akan berorientasi kepada kekuasaan (power).
Ia akan berusaha untuk merebut, mempertahankan, dan menguasai kekuasaan tadi.
Jikapun ada pengambilan keputusan yang dilakukan, maka keputusan tersebut sudah
dipastikan untuk mempertahankan kekuasaannya. Jika ada kebijakan publik yang
dilakukan, maka bisa dipastikan kebijakan publik tersebut dirumuskan oleh kawan
sejawatnya untuk kepentingan kekuasaan kolektif dan individu. Jika ada
pengalokasian dan distribusi kepada masyarakat, saya pastikan itu bentuk dari
pencitraan dan penghegemonian untuk mempertahankan kekuasaan.
Jadi, sudahlah
pasti kenapa jawaban dari pertanyaan “benarkah politik sekotor itu?” adalah iya
karena politikus tadi hanya memahami unsur awal untuk mencapai politik, dan
tidak karena politikus sudah memahami dan menjalankan keempat unsur tersebut.
“Pada akhirnya, politik hanya seburuk sejauh pemahaman pelakunya tentang
politik itu sendiri. Jika ia hanya melihat kekuasaan, politik akan busuk.
Tetapi jika ia memahami politik sebagai jalan menuju kebaikan hidup bersama,
maka politik justru menjadi karya paling mulia dari akal budi manusia."
Penulis
Fualdhi Husaini Hasibuan
