Jeratan Senioritas: Ketika Organisasi Ekstra Kampus Menjadi Panggung Reproduksi Kekuasaan

 

Ilustrasi gambar/ Dokumen to pixabay


Elemendemokrasi,com. Organisasi ekstra kampus merupakan wadah penting bagi mahasiswa untuk mengembangkan pola pikir, keterampilan sosial, serta menumbuhkan semangat kolektif dalam memperjuangkan nilai dan ideologi. 

Namun, di balik idealisme tersebut, tersembunyi berbagai dinamika internal yang justru menjadi penghambat kemajuan, salah satunya adalah praktik senioritas yang berlebihan.

Budaya dalam Organisasi: Antara Idealisme dan Feodalisme

Setiap organisasi memiliki budaya khas yang mencerminkan identitas dan cara berproses anggotanya.

 Sayangnya, budaya yang berkembang sering kali tidak mendorong kemajuan, melainkan menciptakan relasi kuasa yang tidak sehat, seperti feodalisme dan militeristik. Dalam kondisi ini, posisi senior lebih dipandang sebagai simbol kekuasaan daripada sebagai mitra belajar.

Yunior dituntut untuk tunduk kepada senior, bukan karena kompetensi, melainkan semata-mata karena urutan waktu masuk organisasi. 

Budaya ini melahirkan kepatuhan buta yang menumpulkan daya kritis, bahkan menghambat inovasi yang seharusnya lahir dari anggota baru.

Kepemimpinan yang bersifat feodal menutup ruang partisipasi luas. Proses kaderisasi lebih menekankan pada loyalitas personal dibandingkan dengan kapasitas intelektual dan moral. 

Akibatnya, banyak anggota yang akhirnya hanya menjadi pengikut pasif dan tidak berkembang secara maksimal.

Dalam jangka panjang, praktik ini menciptakan jejaring kekuasaan di luar organisasi. Para senior yang telah menempati posisi strategis di birokrasi cenderung membuka peluang bagi yunior berdasarkan kedekatan emosional, bukan integritas dan kompetensi. 

Hubungan ini dibungkus dengan dalih silaturrahmi, tetapi sejatinya merupakan bentuk patronase terselubung.

Krisis Independensi dan Hilangnya Tujuan Awal

Organisasi yang seharusnya bersifat independen justru kehilangan arah ketika menghadapi persoalan sosial.

 Alih-alih berpihak kepada kepentingan rakyat, mereka lebih mengutamakan jaringan internal demi melanggengkan kekuasaan para senior. Dampaknya adalah lahirnya aktivisme semu yang hanya menjadi corong kepentingan elit.

Dalam banyak kasus, perjuangan atas nama rakyat hanyalah simbol kosong. Di baliknya tersembunyi motif untuk menjaga kedekatan dengan para senior yang telah bertransformasi menjadi elit birokrasi. Janji-janji perubahan hanyalah alat untuk mempertahankan dominasi.

Refleksi: Kegagalan Menghapus KKN dan Tanggung Jawab Generasi Muda 

Mengapa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sulit diberantas di Indonesia? Salah satu penyebabnya adalah budaya buruk yang ditanamkan dalam organisasi sejak dini, yakni pembelajaran yang tidak kritis terhadap kekuasaan.

 Ketika organisasi tidak berpihak kepada masyarakat miskin, tetapi justru pada kekuasaan, maka jangan heran jika gerakannya justru menjauh dari cita-cita perubahan.

Generasi hari ini harus lebih kritis terhadap organisasi yang mengklaim diri sebagai pejuang rakyat. Jangan mudah percaya pada narasi besar jika di baliknya ada kepentingan yang diselipkan oleh para senior. 

Jika organisasi tidak lagi mencerminkan semangat perubahan, maka sudah saatnya untuk mendekonstruksi struktur internalnya agar tidak menjadi alat reproduksi kekuasaan.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url