Koperasi Merah Putih Sebagai Ilusi Untuk Menghisap Kaum Kromo

Phye Gelifront Anggota Berbakat EK LMND TTU/Dok istimewa 


Koperasi Merah Putih dijadikan sebagai solusi untuk membangkitkan ekonomi desa. 

Setiap koperasi di desa atau kelurahan bisa pinjam modal awal dari bank-bank Himbara seperti BRI, BNI, Mandiri, dan BTN, dengan maksimal antara 3 sampai 5 miliar rupiah. 

Pinjaman ini bukan hadiah atau hibah  dari negara, tapi utang yang harus dikembalikan selama 6 sampai 10 tahun. 

APBN hanya jadi penjamin agar bank berani kasih pinjaman, bukan memberi uang langsung. Dana ini dipakai buat usaha seperti kios sembako, agen pupuk, layanan logistik, sampai simpan pinjam.

Total potensi dana yang siap disalurkan melalui bank Himbara buat 80.000 koperasi ini bisa sampai Rp 550 triliun, gabungan dari plafon atau maksimal pinjaman bank dan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR). Jadi bukan uang gratis, tapi dana pinjaman yang harus kembali.

Pendanaan Koperasi Merah Putih datang dari beberapa sumber, APBN lewat Kementerian Keuangan dan Koperasi yang jadi penjamin dan pendukung, APBD daerah buat biaya legalitas koperasi seperti akta notaris dan pendampingan. 

Dana Desa untuk biaya administrasi awal dan legalisasi (dengan syarat dan batasan), dan tentu pinjaman dari bank Himbara.

Untuk mengkaji  lebih lanjut penulis  menggunakan Materialisme Dialektika Historis sebagai pisau analisis sehingga dapat membedah masalah ini dan sebelum itu perlu kita ketahui bersama bahwa Materialisme Dialektika Historis dicetuskan oleh Karl Marx  dan Friedrich Engels. 

Agar dapat mengetahui dan memahami relasi sejarah dan perubahan sosial yang terjadi karena menurut Karl Marx dan Friedrich Engels, sejarah dan perubahan sosial adalah hasil dari pertentangan atau kontradiksi dalam relasi sosial dan ekonom dan politik.

Secara Materialisme, rakyat jelata atau kaum kromo di bumi Nusantara mengalami kemiskinan kemudian negara membentuk koperasi merah putih agar dapat  meminimalisir kemiskinan tersebut. 

Namun, itu semua permainan dari kaum Borjuasi untuk mengejar akumulasi profit dan jadikan rakyat sebagai sasaran objek, rakyat dijadikan wayang yang dimainkan oleh dalang sehingga pada akhirnya rakyat di eksploitasi.

Sebab,  disuruh secara halus untuk membayar hutang mereka pinjam demi kebutuhan  primer mereka dan bahkan ketika program koperasi merah putih ini bermasalah pun rakyat yang akan menanggung dan membayar melalui pajak.  

Oleh karena  itu dapat kita melihat melalui APBN tahun 2025  bahwa kelas mana yang dirugikan dan kelas mana yang diuntungkan.?

Target total penerimaan perpajakan (PPh, PPN, bea masuk, cukai, dll) adalah Rp 2.490,9 triliun. Total anggaran APBN 2025 adalah Rp 3.621,3 triliun.  

Dengan demikian, persentase APBN yang berasal dari pajak masyarakat bisa dihitung sebagai berikut.

Sekitar 69% dari seluruh uang negara di tahun 2025 berasal dari pajak yang dibayar oleh masyarakat (termasuk rakyat biasa/jelata, pekerja, pelaku UMKM, konsumen lewat PPN, dsb).

Sisa 31% berasal dari,PNBP (pendapatan dari sumber daya alam, dividen BUMN, dll)Hibah Pinjaman (utang negara).

Dengan sendirinya terjadi struktur kelas dimana negara berperan sebagai alat bagi kaum Borjuasi untuk mengendalikan masyarakat agar kaum Borjuasi tetap kaya.

Secara Dialektika, dimana terjadi perubahan secara signifikan dalam relasi sosial dan Dialektika juga terdapat tiga hukum.

Hukum  Kuantitas  menjadi Kualitas

Perubahan kecil di kuantitas utang koperasi lama-kelamaan jadi perubahan kualitas yaitu masyarakat makin terjebak sistem utang dan kehilangan kemandirian ekonomi.

Hukum Kontradiksi 

Ada pertentangan antara niat baik pemerintah (tesis) dan praktik yang memberatkan rakyat (antitesis). Pertentangan inilah yang menggerakkan perubahan sosial.

Hukum Negasi Ke Negasi

1. Tesis (Ide Awal)

Program koperasi ini awalnya hadir sebagai cara negara untuk memberdayakan rakyat, memberi akses modal agar desa bisa mandiri dan maju secara ekonomi. 

Ide ini adalah harapan dan janji bahwa koperasi jadi alat rakyat bangkit ekonomi dari bawah.

2. Antitesis (Kontradiksi)

Namun, kenyataannya modal koperasi bukan dari rakyat, melainkan utang bank yang dijamin APBN. 

Rakyat harus mengurus legalitas koperasi pakai dana desa dan APBD, padahal itu modal awalnya sendiri harus dipinjam dari bank dan harus dibayar kembali dengan bunga. 

Musyawarah desa yang seharusnya demokratis sering cuma formalitas, tanpa pemahaman warga soal utang ini. Jadi janji pemberdayaan malah jadi jerat baru buat rakyat, yang semakin tergantung pada utang dan bank.

3. Sintesis (Hasil Perbenturan)

Dari kontradiksi ini, muncul pilihan rakyat, mau terus ikut sistem utang dan bergantung, atau sadar dan mulai menolak pinjaman, mencari cara mandiri tanpa harus bergantung pada bank dan utang. 

Sintesis ini bisa membuka peluang bagi perubahan sistem, yang benar-benar memberi kekuatan pada rakyat.

Secara Historis, dimana historis atau sejarah terbentuk dari relasi sosial dan sejarah koperasi di Indonesia awalnya adalah perjuangan rakyat kecil, berbasiskan gotong royong dan simpan pinjam antar anggota tanpa utang bank. 

Bung Hatta bahkan menegaskan koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat.

Tapi sekarang, lewat Koperasi Merah Putih, modal datang dari bank BUMN yang sudah bertransformasi jadi perusahaan publik dengan pemegang saham swasta. 

Contohnya, BRI yang dulu 100% milik negara, sekarang pemerintah cuma pegang 56%, sisanya milik swasta; BNI, Mandiri, dan BTN juga demikian, di mana sekitar 30-40% saham sudah di tangan investor publik.

Ini berarti ada relasi sosial baru, bukan rakyat yang pegang modal, tapi bank sebagai pemilik modal. Negara hanya jadi penjamin agar bank tidak rugi, tapi rakyat harus tanggung risiko utang dan bunganya. 

Jadi, sejarah koperasi yang dulu berakar pada kekuatan kolektif rakyat berubah jadi hubungan ekonomi yang lebih menguntungkan pemilik modal besar dan negara sebagai fasilitator kapital.

Koperasi Merah Putih bukan sekadar program pemberdayaan biasa, tapi juga medan dialektika sosial-ekonomi yang memperlihatkan kontradiksi antara janji dan praktik, antara rakyat kecil dan kekuatan modal besar, antara sejarah kolektif dan realitas kapitalisme modern.



Penulis: (Phye Gelfront)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url