Malikussaleh Krisis Demokrasi, Pemilihan MPM & DPM Cacat Prosedural dan tidak Partisipatif
![]() |
Universita Malikussaleh (UNIMAL). Sumbe foto: unimalnews |
Di tengah gelombang krisis kepercayaan terhadap sistem politik secara nasional, kampus mestinya hadir sebagai ruang dialektika yang sehat, tempat dimana demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai prosedur elektoral, tetapi sebagai nilai yang membebaskan.
Namun, yang terjadi belakangan ini di Universitas Malikussaleh justru memperlihatkan arah sebaliknya dimana demokrasi tidak tumbuh, melainkan dikebiri secara sistemik dan terstruktur.
Proses pemilihan Ketua DPM dan Ketua MPM UNIMAL tahun ini mencerminkan kemunduran yang serius dalam tradisi demokrasi kampus.
Pemilihan yang dilakukan secara mendadak, tanpa sosialisasi yang terbuka kepada publik mahasiswa, bukan hanya melecehkan akal sehat, tapi juga mencederai nilai dasar demokrasi itu sendiri: transparansi, partisipasi, dan representasi.
Jika kampus adalah ruang pengkaderan pemimpin masa depan, maka praktik semacam ini adalah pertanda bahwa kita sedang membentuk generasi yang terbiasa dengan kekuasaan yang tertutup, elitis, dan monopolistik.
Lebih buruk lagi, semua posisi strategis kampus dari Ketua BEM, DPM hingga MPM berasal dari organisasi yang sama.
Hal ini memperlihatkan dengan terang adanya konsolidasi kekuasaan dalam satu lingkaran yang sempit, nyaris tanpa kompetisi sehat.
Perlu ditegaskan, kritik ini bukan ditujukan untuk menyerang organisasi manapun.
Pergerakan mahasiswa, dalam sejarahnya, tidak dibangun di atas kebencian sektarian. Yang kita lawan bukan bendera, melainkan praktik yang tidak benar.
Karena pada akhirnya, yang merusak demokrasi bukanlah keberagaman organisasi, melainkan ketika satu kelompok memonopoli ruang tanpa memberi ruang hidup bagi yang lain.
Lebih jauh, disalah satu fakultas, proses seleksi calon Ketua DPM UNIMAL dilakukan tanpa musyawarah dengan seluruh ORMAWA. Tak ada diskusi kolektif, tak ada forum transparan. Semua berjalan dalam senyap.
Ini bukan sekadar pelanggaran etika politik kampus, tetapi juga bentuk pengabaian terhadap prinsip musyawarah sebagai metode pengambilan keputusan dalam demokrasi rakyat.
Dan publik bertanya-tanya, mengapa ini bisa terjadi? Mengapa semua yang terpilih memiliki keterkaitan latar organisasi yang sama? Apakah ini kebetulan? Ataukah cerminan dari skema politik elektoral kampus yang telah dikooptasi oleh kekuatan tertentu?
Kita harus sadar, bahwa diam dalam situasi semacam ini adalah bentuk lain dari kekompakan dalam ketidakadilan.
Demokrasi yang sehat menuntut partisipasi luas, bukan konsensus elitis. Dan mahasiswa, dalam sejarah gerakan rakyat, selalu menjadi garda yang paling peka terhadap setiap gejala ketimpangan.
Maka hari ini, kritik ini adalah alarm peringatan. Sebuah seruan agar kita tidak membiarkan ruang-ruang demokrasi kampus berubah menjadi panggung oligarki kecil-kecilan.
Bahwa kampus bukan tempat memperkaya ego satu kelompok, tetapi ruang untuk mendidik generasi yang mampu berpikir kritis, bertindak adil, dan menghormati keberagaman.
Kami tidak menuntut lebih, hanya satu: hadirkan kembali demokrasi yang jujur dan terbuka.
Bukan sekadar seremoni pemilihan, tetapi proses yang melibatkan, mendidik, dan memberdayakan.
Sebab jika kampus gagal menjadi sekolah demokrasi, maka apa lagi yang bisa kita harapkan dari bangsa ini?
Penulis : Fualdhi Husaini Hasibuan
Editor : Syamsul Ma'arif