Sekolah Rakyat: Obat Pereda Nyeri dari Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan
![]() |
Dokumentasi from Pixabay |
Program Sekolah Rakyat yang digagas di bawah naungan Kementerian Sosial hingga hari ini menuai beragam kritik dan keraguan dari masyarakat.
Salah satu kritik yang sering muncul adalah anggapan bahwa program ini justru menciptakan kasta dalam dunia pendidikan.
Namun, perlu dipahami bersama bahwa hadirnya "kasta" dalam pendidikan bukan disebabkan oleh program ini, melainkan merupakan dampak dari sistem neoliberalisme yang memperlebar jurang ketimpangan ekonomi.
Neoliberalisme telah melemahkan peran negara dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan.
Imbasnya, sistem pendidikan di Indonesia mengalami liberalisasi dan komersialisasi yang signifikan.
Pendidikan semakin sulit diakses oleh kalangan masyarakat miskin.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2021 menunjukkan bahwa 76% anak yang putus sekolah melakukannya karena alasan ekonomi. Dari jumlah tersebut, 67% tidak mampu membayar biaya pendidikan, dan 8,7% lainnya harus bekerja membantu keluarga.
Meski tidak menjawab secara radikal akar persoalan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan, Sekolah Rakyat hadir sebagai "pereda nyeri" yang mencoba memberi solusi sementara terhadap krisis tersebut.
Tujuan utamanya adalah membuka akses pendidikan bagi kelompok miskin ekstrem, yang masih menjadi persoalan nyata di Indonesia.
Per Maret 2024, BPS mencatat bahwa persentase penduduk miskin ekstrem di Indonesia mencapai 0,83 persen.
Namun demikian, program Sekolah Rakyat tidak cukup untuk menjawab tantangan besar pendidikan nasional.
Pemerintah tidak bisa terus-menerus mengandalkan solusi tambal sulam.
Diperlukan langkah strategis untuk mengambil kembali tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan
scientific papers from: Ian Caesar Francisco Sinaga