Sejarah Kerajaan Buton: Jejak Peradaban Islam dan Demokrasi dari Buton, Sulawesi Tenggara

Jejak sejarah benteng Kraton Buton
Kerajaan Buton bukan sekadar bagian dari sejarah lokal, melainkan cerminan warisan budaya dan sistem pemerintahan yang maju pada masanya. 

Memahami sejarah Buton berarti menelusuri akar budaya, sistem kenegaraan, hingga nilai-nilai demokrasi yang pernah berkembang di wilayah yang kini masuk dalam Provinsi Sulawesi Tenggara. 

Tulisan ini akan mengulas secara ringkas perjalanan sejarah, sistem pemerintahan, hingga peninggalan Kesultanan Buton yang masih lestari hingga hari ini.

Asal-Usul Kerajaan Buton dan Raja Perempuan Pertama

Kerajaan Buton berdiri pada tahun 1332 Masehi dan dipimpin oleh seorang perempuan bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja pertama. 

Dalam sejarah Nusantara, hal ini tergolong unik karena menunjukkan keberadaan kepemimpinan perempuan sejak awal. 

Wa Kaa Kaa dikenal tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena kecerdasannya, kebijaksanaannya, dan keberaniannya memimpin kerajaan.

Sistem Pemerintahan Monarki Konstitusional

Kerajaan Buton mengadopsi sistem Monarki Konstitusional, di mana kekuasaan seorang sultan dibatasi oleh hukum adat dan konstitusi yang disebut Murtabat Tujuh. 

Uniknya, pemilihan sultan tidak berdasarkan garis keturunan, tetapi melalui lembaga adat Siolimbona, yang terdiri dari tokoh-tokoh adat seperti Sapati, Kanepulu, dan Bonto. 

Dewan ini bertugas menjaga tradisi, memilih sultan, dan memastikan keseimbangan dalam pemerintahan.

Tiga Lembaga Kekuasaan: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif

Kerajaan Buton menerapkan sistem trias politica dengan pembagian tiga lembaga utama:

  1. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif,
  2. Sara Gau sebagai lembaga legislatif,
  3. Sara Bitara sebagai lembaga yudikatif.

Sistem ini menempatkan hukum di atas segalanya, bahkan seorang sultan pun tunduk pada aturan tersebut.

Lima Pilar Kehidupan Masyarakat Buton

Dalam menjalankan roda pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, Kesultanan Buton memegang lima prinsip dasar yang menjadi filosofi hidup, yaitu:

  1. Agama (Islam)
  2. Sara (Tata Pemerintahan)
  3. Lipu (Negara atau Wilayah)
  4. Karo (Rakyat atau Diri Pribadi)
  5. Arataa (Harta Benda)

Kelima nilai ini menjadi fondasi tatanan sosial dan politik masyarakat Buton selama berabad-abad.

Masa Kejayaan di Abad ke-17

Kesultanan Buton mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17 di bawah kepemimpinan Sultan La Elangi (Dayanu Ikhsanuddin). 

Pada masa ini, wilayah kekuasaan Buton meluas, dan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi dan Jawa semakin intensif. 

Pelabuhan Buton juga berkembang menjadi salah satu jalur strategis perdagangan internasional, karena lokasinya yang menghubungkan Makassar dan Maluku.

Kampua: Mata Uang Kain Tenun Buton

Kesultanan Buton dikenal sebagai salah satu kerajaan Nusantara yang memiliki alat tukar sendiri berupa Kampua, kain tenun berukuran 17,5 x 8 cm. 

Selain itu, sistem perpajakan juga telah berjalan dengan baik dan diatur oleh pejabat khusus yang disebut Tunggu Weti.

Perlawanan Terhadap VOC dan Akhir Masa Kejayaan

Meskipun sempat menjalin hubungan dagang dengan VOC, Kesultanan Buton akhirnya berselisih dengan Belanda karena niat mereka memonopoli rempah-rempah. 

Konflik ini memicu pertempuran sengit, namun Buton berhasil mempertahankan wilayahnya. 

Sayangnya, kemunduran kerajaan tidak datang dari luar, melainkan akibat konflik internal.

Kesultanan Buton akhirnya runtuh pada tahun 1960, setelah wafatnya Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin, dan kemudian secara resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Warisan Sejarah yang Masih Bertahan

Hingga kini, warisan budaya dan sejarah Kesultanan Buton masih bisa ditemui di Kota Baubau, di antaranya:

  • Benteng Keraton Buton (terbesar di dunia),
  • Istana Malige,
  • Kasulana Tombi (tahta sultan),
  • Masjid Agung Keraton Buton (Masjid Ogena),
  • dan tentu saja Kampua, kain yang dulunya menjadi alat tukar resmi.


Penulis: Feby Rahmayana (Departemen Perempuan, Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url