Sofifi dan Ilusi Pemekaran: Antara Status, Keadilan, dan Aksi Nyata

 

Rahmat Ansar Pemuda Oba Selatan Sekaligus Fungsionaris FKP Malut/Dok Pribadi 


Wacana pemekaran wilayah Sofifi beberapa hari lalu sontak menjadi sorotan publik. Gagasan menjadikan Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) cukup menguat, diiringi dengan demonstrasi, pro-kontra elite politik, dan tarik-ulur kepentingan antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.

Titik Temu?

Namun, dalam keramaian diskursus itu, menarik dipertanyakan—apa yang terjadi setelah wacana DOB Sofifi itu bergulir? 

Akankah gerakan aspiratif dari kelompok grassroots atau akar rumput yang pro dan kontra telah menemukan 'titik temu', seperti dalam istilah Prof Yudi Latif. Atau justru sebaliknya, dan tinggal menunggu letupan gerakan selanjutnya?.

Bagaimana Kondisi Sofifi?

Sebagaimana diketahui, Sofifi telah ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara sejak tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2000. 


Ironisnya, hingga kini tak ada bangunan kelembagaan yang mapan, pelayanan publik tertinggal, dan struktur administratifnya kabur. Hal ini menandakan kegagalan bukan pada status, melainkan pada komitmen politik dan implementasi pembangunan.

Kondisi Sofifi saat ini lebih mencerminkan kebutuhan akan keadilan pembangunan, bukan sekadar pengakuan administratif. Daerah Oba yang menjadi wilayah daratan Sofifi masih mengalami ketimpangan signifikan dibanding pusat Kota Tidore. 

Infrastruktur dasar seperti transportasi publik, pelayanan kesehatan, dan pendidikan masih jauh dari kata layak. Dalam situasi seperti ini, usulan DOB menjadi ibarat "mengecat dinding rumah yang akan roboh tanpa memperbaiki fondasinya".

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemekaran harus melalui persetujuan bersama antara pemerintah provinsi dan daerah induk. Sampai hari ini, Pemkot Tidore Kepulauan belum memberikan persetujuan resmi. Kehendak aspiratif mestinya dibangun dengan asas demokratis, sehingga tidak melahirkan konflik administratif, bahkan sosial.

Sudah Saatnya Semua Pihak Melihat Akar Persoalan: Sofifi Butuh Aksi Nyata

Pemerataan pembangunan, penguatan tata kelola, dan kehadiran negara dalam bentuk layanan publik yang adil adalah fondasi utama untuk menjadikan Sofifi sebagai kota yang hidup. Kota bukan hanya tentang status hukum, tapi tentang fungsi sosial dan keberpihakan terhadap rakyat.

Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Kota Tidore Kepulauan harus bersinergi, bukan saling menyandera. Warga Oba harus dilibatkan dalam proses musyawarah secara bermartabat, bukan hanya dijadikan alat legitimasi agenda elite.

Perlu Atensi Pemerintah

Sementara pemerintah pusat, terutama Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI, perlu memperkuat evaluasi terhadap seluruh usulan DOB agar tidak menjadi proyek gagal di kemudian hari.

Kita tidak sedang kekurangan daerah otonom, kita sedang kekurangan keadilan dalam pembangunan. Sofifi bisa tumbuh menjadi kota yang sesungguhnya—jika didukung oleh komitmen politik, kehadiran pelayanan publik, dan keberpihakan yang nyata.


Penulis: Rahmat Ansar


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url