Tikus di Balik Janji Pemberdayaan Rakyat

Adam Mario Wilson Brait Pemuda berbakat asal kabupaten Belu/ Dok Pribadi 


Senin kala itu, seorang lelaki tua di dusun terpencil sedang menggembala sapi di padang rumput di bawah kaki gunung Foho Kiik, daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Malaka.  

Saat itu adalah musim kemarau, debu jadi makanan para pengembala sapi, anak-anak kecil termasuk masyarakat desa.

Mentari hendak kembali ke peraduan, Kakek Lukas si pengembala sapi beranjak pulang ke rumah. 

Di tengah perjalanan, mobil mewah merek Pajero menghampiri Kakek Lukas. 

Lelaki muda “mata empat” dengan jenggot berserakan bagai penjahat yang mengemudi mobil itu menyapa Kakek Lukas sembari bertanya rumah Kepala Suku di daerah tersebut. 

“Om, Katuas Adat (Kepala Suku) punya rumah di mana?” ujar pengemudi mobil. 

“Jalan terus saja, Pak. Nanti ketemu rumah adat. Di situ rumah Katuas Adat,” jawab Kakek Lukas dengan nada gugup. Ia berpikir, pengemudi mobil itu adalah seorang polisi yang hendak mengurus masalah, Minggu kemarin. 

Malam tiba, kunang-kunang malam, suara jangkrik sebagai penghibur masyarakat desa. Kakek Lukas yang sedang menyalakan api di depan rumahnya. Ia melihat mobil Pajero itu hendak pulang ke kota. Sedang ketakutan, ia sembunyi di balik pohon di depan rumah sembari melirik, siapakah pemuda desa yang telah di bawa polisi?.

Malam semakin dewasa, Kakek Lukas menuju gubuk kecil (rumah Kakek Lukas) dan ia merebahkan tubuh di atas bentangan papan jati dan bermimpi tentang kehidupan yang berkecukupan di dusun itu. Ini adalah impian si pengembala sapi (kakek Lukas). 

Mentari memancarkan sinar dari ufuk timur, Kakek Lukas beranjak menuju rumah Katuas Adat yang tak jauh dari gubuknya. Dengan rasa cemas, ia berjalan kaki menuju rumah Om Daniel (Katuas Adat).

“Selamat pagi Ama Nai (panggilan untuk orang tua), semalam mobil itu polisi kah?” Tanya Kakek Lukas. “Ah, itu pemerintah dong. Dia mengaku sebagai seorang PNS dan sekarang jadi tim sukses untuk salah satu calon Bupati Belu,” jawab Katuas Adat. 

“Iya kah? Saya pikir polisi. Muka dan tampangnya kayak seorang aparat,” ujarnya Kakek Lukas sembari mengatakan, seorang pegawai urus politik lagi dan mungkin untuk kepentingan mereka. 

Suasana pagi semakin hangat, hidangan kopi istri kepala suku membuat obrolan mereka semakin asyik; tentang bercocok tanam, jadi pengembala hingga menyiapkan lahan menanti hujan membasahi jantung  bumi. 

Obrolan ini memang sering jadi “makanan” lelaki di desa saat musim kemarau. Musim yang penuh penderitaan; jalanan berdebu, banyak sungai mengering, hutan-hutan gundul. Lengkaplah sengsara masyarakat desa.

Saat itu, nampak jelas penderitaan rakyat. Orang-orang desa menyusuri lereng-lereng bukit mencari umbi-umbian di tengah hutan untuk santap malam, mencari air di bawah kaki gunung, mencari kayu bakar, hingga membersihkan lahan sembari wujud syukur meminta rahmat dari Sang Pencipta, berharap cepat turun hujan. 

Tahun Politik

Di tengah penderitaan ini, datanglah Pak Mateus (seorang ASN) ke Desa Renrua (sebuah desa terpencil yang berbatasan langsung dengan Malaka). Lelaki ini menyapa masyarakat desa sembari memperkenalkan sosok yang menurutnya akan membawa masyarakat keluar dari segala penderitaan. 

Berpakaian seperti seorang aparat, mungkin ingin menakutkan orang-orang desa. Mengertilah, begitu trauma masyarakat desa ketika berhadapan dengan orang mempunyai kekuasaan. 

Tepat pada Sabtu siang, Pak Mateus mengunjungi rumah Katuas Adat dengan mobil Pajero tersebut sembari membawa seorang yang berbadan kekar, kulit putih seperti orang China. 

Orang itu langsung menyapa masyarakat yang telah berkumpul di rumah adat. Ia membawa siri-pirang yang dibagikan kepada masyarakat desa sembari memperkenalkan diri sebagai calon  Bupati Belu.

Pada kesempatan itu, masyarakat diam-melongo melihat sosok misterius yang berbicara dengan mulut penuh busa. 

“Ina no Ama. Saya sebagai salah satu calon Bupati Belu, saya mempunyai program ingin memberdayakan masyarakat desa,” jelas dia. Disambut riuh oleh masyarakat yang hadir. 

“Mamfatin (panggilan terhormat) saya bersama masyarakat desa akan menjatuhkan dukungan padamu. Selama ini kami telah dibohongi berulang kali. Mamfatin mak los,” ucap kepala suku pada lelaki itu.

“Terima kasih, Ama Nai. Hati saya bersama masyarakat kecil. Saya terlahir dari keluarga proletar yang ingin melihat saudara-saudaraku sejahtera,” sahut lelaki itu untuk menyakinkan masyarakat desa. 

Kata-kata ini memang sebagai racun yang langsung meluluhkan semua jantung orang-orang desa. Semua terpana mendengar ucapan itu. Kepercayaan bak menumpuk di pundak lelaki itu dengan harapan keluar dari kehidupan melarat ini. 

Nasi bungkus isi ayam goreng selalu dibagikan kepada rakyat yang datang. Ini bukan yang pertama, seperti biasanya. Orang-orang di kota, selain “mulut manis” pasti suguhkan nasi bungkus sebagai pelengkap untuk lebih menyakinkan rakyat. 

Pilkada Belu

Mentari memancarkan sinar dari ufuk timur, masyarakat desa, para gembala sapi, pemuda desa serta tukang ojek berbondong-bondong menyusuri jalanan menuju TPS untuk menjatuhkan dukungan pada Pak Zakeus (Sang lelaki yang datang di desa waktu itu).

Tak disangka ternyata semua orang-orang desa menjatuhkan dukungan pada lelaki itu, seperti menyulap. Suara rakyat dari desa itu menghantarkan Pak Zakeus menduduki kursi empuk di Kabupaten Belu. Yah, kursi itu memang empuk. Khusus untuk orang-orang yang dipercayakan untuk menempati itu. 

Pak Zakeus seorang China yang pergi ke desa mengatakan diri sebagai kaum proletar menempati singgasana itu.  

Memang, seperti janji di kala itu. Semua orang desa terpana dan menantikan sosok ini untuk menyelamatkan mereka dari kehidupan yang kian melarat. 

Rumah mewah membuat dia semakin nyaman, temannya Pak Mateus yang memperkenalkan lelaki itu masyarakat desa, kini menjadi orang terpenting atau sebut saja tangan kanan sang pemimpin Belu. 

Janji manis itu tak kunjung datang, harapan rakyat itu sirna, kemiskinan terus melarat, jalanan di desa sangat berlumpur saat musim hujan. Janji pemberdayaan masyarakat kala itu adalah sampah. 

Sampai itu keluar dari mulut sang pemimpin, mulut berbusa itu sering mengeluarkan sampah dan menipu rakyat. 

Di masyarakat, nama mereka bukan lagi Pak Mateus dan Pak Zakeus tetapi sampah rakyat. Memang, penyesalan selalu datang di akhir, rakyat semakin ditipu, dibohongi pemimpinnya.

Kini, semakin jelas, Mateus berkeliaran ke desa untuk mengamankan jabatan, mempresentasikan Zakeus untuk masyarakat, itu tujuannya. 

Nasib rakyat ditelantarkan. Orang-orang desa semakin mengetahui, yang berkeliaran saat itu adalah tikus kantor. Tikus-tikus ini yang menduduki rumah rakyat.



Penulis : Adam Mario Wilson Brait 


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url