Potret Buram Mal Administrasi P3K di Kabupaten TTU
Kebijakan pemerintah daerah seharusnya menjadi cerminan pelayanan publik yang transparan, adil, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Namun, yang terjadi dalam proses rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) justru menjadi contoh nyata bagaimana mal administrasi masih mengakar dalam birokrasi lokal.
Sebagai warga dan pengamat kebijakan publik, saya menilai proses seleksi P3K di TTU telah mencederai prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Banyak laporan dan keluhan yang beredar terkait ketidakterbukaan informasi, dugaan intervensi, dan lemahnya pengawasan dalam tahapan seleksi. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap hasil akhir seleksi dan mencoreng kredibilitas pemerintah daerah.
Ketika Meritokrasi Dikesampingkan
Sistem P3K sejatinya hadir untuk menjawab keresahan tenaga honorer dan memastikan rekrutmen aparatur sipil negara yang berbasis pada kompetensi dan kinerja, bukan kedekatan atau hubungan pribadi. Namun di TTU, sistem itu tampak kehilangan ruhnya. Beberapa calon peserta yang memiliki pengalaman dan kemampuan justru tersisih tanpa alasan yang jelas, sementara pihak-pihak tertentu diduga mendapatkan “jalan mulus” menuju kelulusan.
Praktik semacam ini bukan hanya bentuk mal administrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai profesionalisme dan keadilan publik. Jika dibiarkan, hal ini akan menimbulkan efek domino: aparatur yang tidak kompeten, pelayanan publik yang menurun, dan hilangnya motivasi bagi tenaga kerja yang benar-benar berdedikasi.
Minimnya Akuntabilitas dan Transparansi
Mal administrasi tidak akan tumbuh tanpa adanya ruang gelap dalam birokrasi. Minimnya keterbukaan data, tidak adanya mekanisme klarifikasi yang adil, serta sikap defensif dari pihak berwenang menunjukkan bahwa akuntabilitas masih menjadi PR besar di TTU. Padahal, publik memiliki hak untuk tahu bagaimana proses seleksi dijalankan, siapa yang terlibat, dan apa dasar keputusan yang diambil.
Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah kabupaten mestinya menjadi pelopor tata kelola yang bersih dan berintegritas. Namun, kasus P3K ini justru memperlihatkan bahwa desentralisasi tidak selalu berbanding lurus dengan demokratisasi bila mentalitas birokrat masih tertutup dan tidak mau dikritik.
Harapan untuk Perubahan
Opini ini bukan bentuk pesimisme, melainkan panggilan moral agar pemerintah TTU berani berbenah. Diperlukan audit menyeluruh terhadap proses seleksi, pembenahan sistem pengaduan publik, serta komitmen nyata dari pejabat terkait untuk menghapus praktik kolusi dan nepotisme yang sering terselubung di balik kebijakan.
Sudah saatnya masyarakat TTU tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pengawas aktif atas jalannya pemerintahan. Sebab, birokrasi yang bersih tidak lahir dari sistem yang tertutup, melainkan dari keberanian publik untuk menuntut keadilan dan transparansi
Penulis: Alan Putra D. Yosta Haukilo Mahasiswa Aktif Universitas Timor Program Studi Administrasi negara