Budaya Malas dan Gengsi: Ancaman Tersembunyi di Tengah Potensi NTT yang Melimpah
Budaya malas sering kali menjadi momok yang menakutkan, baik bagi kalangan remaja maupun orang dewasa.
Ketika budaya ini telah mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat, dampaknya dapat sangat serius, salah satunya adalah meningkatnya angka pengangguran.
Fenomena ini tidak hanya disebabkan oleh minimnya lapangan pekerjaan, tetapi juga oleh mentalitas dan gaya hidup yang dibentuk oleh gengsi dan rasa malu untuk bekerja di sektor informal.
Budaya Gengsi dan Pengangguran
Banyak pemuda enggan untuk menjalani pekerjaan yang dianggap “rendahan” seperti berjualan keliling atau bekerja kasar.
Rasa gengsi menjadi tembok besar yang menghambat kreativitas dan usaha. Padahal, pekerjaan tersebut bisa menjadi titik awal untuk membangun usaha mandiri.
Mentalitas ingin pekerjaan yang “layak” dan “bergengsi” sering kali tidak diimbangi dengan kompetensi dan kesiapan untuk bersaing di dunia kerja.
Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2024 berada di angka 3,02 persen, menurun 0,12 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski terlihat menurun, angka ini tidak mencerminkan keseluruhan masalah, terutama yang disebabkan oleh faktor mental dan sosial.
Ironi Dunia Pendidikan
Salah satu ironi besar yang terjadi saat ini adalah banyaknya lulusan sarjana yang dihasilkan oleh dunia pendidikan, namun tanpa diiringi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang sepadan.
Pendidikan tinggi seolah menjadi jalur pasti menuju kesuksesan, padahal kenyataannya banyak sarjana yang akhirnya menganggur atau bekerja di luar bidangnya karena minimnya kesempatan kerja.
Potensi Alam vs Kualitas SDM
Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Sumber daya seperti hasil pertanian, peternakan, kelautan, hingga tambang, seharusnya bisa menjadi tumpuan perekonomian masyarakat lokal.
Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat pribumi karena terbatasnya keterampilan dan minimnya pengetahuan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Alih-alih mengelola kekayaan sendiri, banyak masyarakat akhirnya memilih merantau demi mendapatkan penghasilan.
Padahal, jika kemampuan sumber daya manusia bisa ditingkatkan, maka potensi lokal justru dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran.
Budaya malas dan gengsi menjadi dua faktor internal yang menghambat kemajuan masyarakat, bahkan di tengah potensi alam yang begitu besar.
Diperlukan kesadaran kolektif untuk mengubah pola pikir, memperkuat semangat kerja keras, dan membangun keterampilan.
Pendidikan harus mulai diarahkan tidak hanya untuk mencetak gelar, tetapi juga untuk menyiapkan generasi yang siap kerja dan siap berwirausaha.
Dengan begitu, masyarakat NTT bisa mandiri di tanahnya sendiri tanpa harus mengorbankan masa depan di tanah rantau.