Luka Bisu Hilirisasi Nikel: Eco Anxiety dan Trauma Ekologis Masyarakat Lingkar Tambang

Halmahera Tengah — Di balik keberhasilan Indonesia menjadi produsen nikel terbesar dunia, tersimpan kisah pilu masyarakat di sekitar kawasan tambang PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). 

Bukan hanya lingkungan fisik yang tergerus, tetapi juga kesehatan mental dan kehidupan sosial warga yang terancam tanpa banyak suara terdengar.

Dalam studi terbaru yang dilakukan di empat desa lingkar tambang PT IWIP, terungkap fenomena ecoanxiety atau kecemasan ekologis yang makin meluas. 

Masyarakat tidak lagi bebas beraktivitas di luar rumah, air bersih mereka simpan bak barang langka, dan setiap hembusan angin membawa kekhawatiran tak kasat mata tentang bahaya partikel beracun. 

Bahkan dalam keseharian, rasa waswas atas kualitas air, tanah, dan udara telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka.

Menurut data U.S. Geological Survey (2024), Indonesia menyumbang 48,5% produksi nikel dunia, yakni 1,6 juta metrik ton. 

Namun di Halmahera Tengah, keberhasilan ini dibayar mahal. Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat kehilangan tutupan hutan seluas 27.900 hektare selama 2021–2023, disertai pelepasan 22,4 juta ton karbon dioksida ke atmosfer. 

Aktivitas industri ini menyerap air hingga 27.000 meter kubik per hari—dua kali lipat kebutuhan seluruh penduduk setempat.

Kondisi air di sungai setempat pun memprihatinkan. Kandungan nikel di beberapa titik mencapai 4–4,8 mg/L, jauh melampaui baku mutu ekosistem akuatik. 

Lebih parah lagi, logam berat berbahaya seperti kromium heksavalen ditemukan di muara Sungai Ake Doma dan pesisir Tanjung Ulie, mengancam kesehatan warga dengan risiko penyakit pencernaan hingga kanker.

Tak hanya lingkungan, aspek kesehatan masyarakat pun terguncang. 

Puskesmas Lelilef melaporkan lonjakan drastis penderita ISPA dari 300 menjadi 1.000 kasus per tahun sejak operasional tambang dimulai. 

Para nelayan kini harus melaut hingga 30 km untuk mendapatkan ikan, dengan biaya operasional yang melonjak hingga Rp5 juta sekali jalan. 

Ironisnya, tangkapan sering kali tak sebanding dengan ongkos.

Secara sosial, warga merasa terasing di tanah sendiri. "Kami tinggal di sini, tapi seperti tamu di kampung sendiri," ujar salah seorang warga. 

Lahan-lahan produktif berganti pagar pabrik, akses terhadap alam makin sempit, dan rasa kepemilikan terhadap ruang hidup perlahan sirna.

Di mata dunia, Indonesia dielu-elukan sebagai pionir transisi energi hijau berkat produksi nikel untuk baterai kendaraan listrik. 

Namun di balik itu, praktik ekstraktif konvensional masih berlangsung: PLTU batu bara tetap beroperasi, air bersih makin langka, dan hak masyarakat sekitar tambang terabaikan.

Pakar lingkungan menegaskan bahwa dampak tambang bukan sekadar kerusakan fisik. Menurut Pihkala (2020) dan Baudon & Jachens (2021), ecoanxiety yang dibiarkan dapat bertransformasi menjadi gangguan psikologis kronis. 

Trauma ekologis warga Halmahera Tengah adalah potret nyata dari sisi kelam pembangunan industri nikel yang kerap terabaikan.

Kini, kebutuhan akan pendekatan baru semakin mendesak—tidak hanya berbasis teknis atau ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan psikologis warga. 

Pemerintah, industri, dan tenaga kesehatan harus mengakui: kesehatan lingkungan dan mental masyarakat adalah dua sisi dari mata uang yang sama.


Penulis: Sufandi Uno (Mahasiswa Magister Psikologi Sains UAD Yogyakarta)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url