Transisi Energi Hijau di NTT: Janji Manis di Atas Kertas, Ancaman Baru Bagi Warga Adat?

Gambar ilustrasi watchwire
Pada 28 Mei 2025 lalu di Jakarta, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) menandatangani kerja sama dengan PT HDF Energy Indonesia untuk pengembangan proyek hidrogen hijau. Kesepakatan ini menjadi bagian dari Indonesia-France Business Forum yang dihadiri langsung oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto.

Sebanyak delapan proyek energi terbarukan direncanakan dibangun di wilayah Sumba Timur, Sumba Barat Daya, Kupang, TTU, Belu, Rote Ndao, Alor, dan Sikka. Total investasi mencapai USD 2,3 miliar untuk kawasan Indonesia Timur, dengan NTT memperoleh porsi investasi sekitar USD 600 juta.

Di permukaan, proyek ini terdengar menjanjikan: investasi asing besar, teknologi masa depan, dan peluang ekonomi baru. Namun jika ditelisik lebih dalam, terutama bagi masyarakat lokal di NTT yang hidup di atas tanah adat warisan leluhur, proyek ini justru menyimpan potensi masalah sosial yang mengkhawatirkan.

Transisi Energi atau Pola Lama dalam Balutan Baru?

Klaim energi bersih tanpa keadilan sosial hanyalah ilusi. Pertanyaannya: siapakah yang benar-benar akan merasakan manfaat transisi energi ini? 

Apakah rakyat NTT yang selama ini minim akses listrik dan infrastruktur akan menjadi bagian utama proyek ini, atau sekadar menjadi penonton—bahkan korban?

Tanah di wilayah seperti Sumba, Alor, dan Rote bukan sekadar aset kosong di peta investasi, melainkan tanah adat (ulayat) yang dimiliki secara komunal. 

Sayangnya, dalam banyak proyek serupa di Indonesia, mekanisme pengadaan lahan kerap mengabaikan hak-hak ini, memicu konflik agraria yang berkepanjangan.

Tanpa kajian sosial menyeluruh dan keterlibatan masyarakat adat, proyek transisi energi ini berpotensi mengulang skenario kolonialisme gaya baru: tanah rakyat diambil demi proyek global, sementara mereka tak memperoleh manfaat nyata.

Di Balik Investasi Besar, Siapa yang Diuntungkan?

Sebagai perusahaan multinasional, HDF Energy membawa modal dan teknologi canggih dari luar negeri. Namun, keuntungan utama tetap mengalir ke pusat-pusat ekonomi global, bukan ke desa-desa kecil di NTT. 

Warga lokal mungkin hanya berperan sebagai buruh kasar atau penjaga proyek, tanpa hak suara atas perubahan yang mengubah ruang hidup mereka.

Jika proyek ini hanya mempercantik laporan investasi tanpa melibatkan rakyat sebagai pemilik kepentingan utama, maka ini bukan transisi energi, melainkan represi energi.

Minim Keterbukaan, Potensi Masalah Makin Besar

Hingga kini, Pemerintah Provinsi NTT belum membuka ke publik dokumen-dokumen penting seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). 

Tidak ada sosialisasi yang jelas kepada komunitas adat. 

Padahal proyek senilai ratusan juta dolar semestinya mengutamakan transparansi dan partisipasi masyarakat sejak awal, bukan hanya seremoni di Jakarta.

NTT Harus Jadi Subjek, Bukan Sekadar Objek Proyek Global

Jika pemerintah ingin mewujudkan transisi energi berkeadilan, rakyat NTT harus dilibatkan sebagai pemilik suara. 

Bukan hanya janji CSR kosmetik, tetapi lewat kepemilikan saham komunitas, pelatihan teknologi, hingga akses langsung terhadap manfaat listrik dari proyek ini.

Transisi energi sejati harus memastikan warga tidak kehilangan tanah warisan demi listrik yang mungkin tak pernah mereka nikmati.

Seremonial MoU boleh jadi sorotan media, tetapi dampak proyek ini akan dirasakan warga selama puluhan tahun. Energi hijau sejati bukan sekadar soal mengganti batu bara dengan hidrogen, tapi juga soal distribusi kuasa, keadilan ekonomi, dan hak hidup masyarakat adat.

Jika hal-hal itu diabaikan, maka proyek ini tak lebih dari daftar panjang kegagalan pembangunan yang kembali mengorbankan rakyat kecil demi kepentingan elite.


Penulis: Firgilius Taoet
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url