Dua Petani Dibacok di Konawe Selatan, Serikat Tani Nelayan Desak Penegakan Hukum dan Reforma Agraria Sejati
![]() |
Ketua Umum Pengurus Pusat Serikat Tani Nelayan (PP STN) Ahmad Rifai. Sumber foto: instagram @suluhrifai |
Elemendemokrasi.com, Jakarta — Kekerasan terhadap petani kembali mencoreng wajah agraria Indonesia.
Dua orang petani di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menjadi korban pembacokan yang diduga dilakukan oleh preman suruhan perusahaan perkebunan pada Jumat, 6 Juni 2025.
Peristiwa ini menambah deretan panjang konflik agraria yang belum terselesaikan.
Merespons peristiwa itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Tani Nelayan (PP STN) menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk kekerasan terhadap petani dan menuntut keadilan atas konflik agraria yang telah berlangsung puluhan tahun di wilayah tersebut.
PP STN menyoroti keterlibatan PT Marketindo Selaras (MS), yang sejak 2010 terlibat sengketa lahan seluas 1.300 hektare dengan warga dari delapan desa di Kecamatan Angata.
Sebelumnya, konflik telah terjadi sejak 1996 dengan PT Sumber Madu Bukhari.
“Tanah yang selama ini digarap turun-temurun oleh petani, bahkan sebagian telah bersertifikat, diklaim sepihak oleh perusahaan. Ketidakjelasan status hukum lahan serta lemahnya pengawasan dari pemerintah membuat konflik ini terus membara hingga akhirnya meledak dalam bentuk kekerasan,” ujar Ahmad Rifai, melalui pernyataan resminya di Jakarta, Sabtu, (7/6).
PP STN mengecam keras tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani serta mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengusut tuntas kasus pembacokan ini.
Mereka menuntut agar pelaku maupun pihak yang memberi perintah ditindak secara hukum tanpa pandang bulu.
Dalam pernyataan sikapnya, PP STN juga menyerukan kepada pemerintah pusat dan daerah, khususnya Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Nusron Wahid, untuk segera melakukan mediasi yang adil, transparan, dan berpihak pada petani.
Organisasi tersebut menekankan pentingnya percepatan reforma agraria sejati dengan redistribusi lahan dan legalisasi kepemilikan lahan kepada petani sebagai bagian dari amanat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960.
Konflik agraria di Angata disebut mencerminkan ketimpangan struktural penguasaan lahan di Indonesia, di mana 1% populasi menguasai 68% tanah.
Oleh karena itu, penyelesaiannya dianggap mendesak dan harus menjadi prioritas nasional demi keadilan sosial dan kedaulatan pangan.
“Petani bukan musuh negara. Mereka adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional. Sudah saatnya negara berdiri bersama petani, bukan bersama pemodal,” tegas Rifai.
PP STN menyerukan solidaritas dari seluruh elemen masyarakat untuk mengawal kasus ini dan mendukung perjuangan petani di Konawe Selatan dalam mempertahankan hak atas tanah dan hidup mereka secara bermartabat.***