Kedudukan Perempuan didalam Kampus, Sudah Setara?
![]() |
Gambar ilustrasi pixabay.com |
Pendidikan tinggi kerap dipromosikan sebagai ruang emansipasi bagi perempuan. Namun realitas di lapangan justru sebaliknya.
Di banyak kampus di Indonesia, mahasiswi masih berhadapan dengan ketidakadilan struktural yang serius: pelecehan seksual yang merajalela, diskriminasi gender yang mengakar, hingga marginalisasi dalam organisasi mahasiswa.
Kasus pelecehan seksual adalah contoh paling telanjang.
Hampir setiap tahun muncul laporan mahasiswi yang menjadi korban, baik dari sesama mahasiswa maupun dosen.
Sayangnya, kampus lebih sibuk menjaga citra institusi ketimbang melindungi korban.
Banyak laporan mandek, pelaku dibiarkan bebas, sementara korban justru disalahkan.
Di hadapan birokrasi kampus, mahasiswi dipaksa memilih: diam dan selamat, atau bicara dan dikorbankan.
Selain itu, beban ganda masih menjerat perempuan di kampus.
Tidak sedikit mahasiswi yang harus membagi tenaga untuk kuliah, kerja sambilan, bahkan mengurus keluarga.
Kondisi ini menciptakan hambatan besar bagi perempuan untuk berprestasi atau aktif dalam kegiatan kampus.
Laki-laki seringkali punya keleluasaan waktu, sementara perempuan terus terbebani tanggung jawab domestik yang diwariskan oleh budaya patriarki.
Ironinya, di dalam organisasi mahasiswa pun, perempuan sering hanya dijadikan “pemanis.”
Kehadiran mereka kerap ditempatkan sebatas pelengkap kepanitiaan atau simbol representasi, bukan sebagai pengambil keputusan.
Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa gerakan perempuan memiliki peran penting dalam setiap momentum perubahan sosial di Indonesia.
Lantas, sampai kapan mahasiswi harus menanggung semua ketidakadilan ini sendirian?
Diam bukanlah pilihan. Perempuan tidak boleh terus disudutkan sebagai korban tanpa perlawanan.
Jalan keluar hanya bisa lahir ketika mahasiswi berani mengorganisir diri, bersatu, dan memperjuangkan haknya secara kolektif.
Inilah mengapa kehadiran organisasi mahasiswa seperti Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menjadi begitu penting.
Bergabung bersama gerakan mahasiswa bergabung dengan LMND
LMND bukan sekadar organisasi, melainkan ruang politik yang secara serius menempatkan isu perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan mahasiswa dan rakyat.
Di dalam LMND, mahasiswi bukan lagi objek yang dipinggirkan, melainkan subjek yang memimpin, mengorganisir, dan menentukan arah perjuangan.
Organisasi ini memberikan basis kesadaran bahwa persoalan perempuan di kampus tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan struktur sosial dan politik yang lebih luas: kapitalisme dan patriarki.
Maka, solusi yang ditawarkan LMND bukan sekadar kampanye kesetaraan di permukaan, melainkan perubahan mendasar: pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, serta penghentian segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Ini bukan mimpi kosong. Sejarah mahasiswa Indonesia sudah berulang kali membuktikan bahwa perubahan hanya mungkin tercapai ketika mahasiswa bersatu, mengorganisir diri, dan bergerak bersama.
Mahasiswi tidak boleh lagi hanya menjadi korban.
Mereka harus menjadi kekuatan utama dalam menuntut kampus yang aman, setara, dan membebaskan.
Dan untuk itu, berorganisasi bersama LMND adalah langkah politik paling realistis dan mendesak.
Jika kampus terus dibiarkan menjadi ruang yang menindas perempuan, maka mahasiswa telah gagal menjalankan tugas sejarahnya.
Saatnya mahasiswi berdiri, bersatu, dan melawan. Karena pendidikan tanpa keadilan gender hanyalah alat baru untuk melanggengkan penindasan.***