Kampus Belum Aman Bagi Perempuan: Bersatu, Bangkit dan Berjuang Bersama

Pelecehan seksual di dalam kampus masih marak. Gambar setneg.go.id

Kampus sering digambarkan sebagai ruang aman untuk belajar dan mengembangkan diri. 

Namun, kenyataan yang terungkap lewat berbagai laporan justru mengejutkan: kampus belum sepenuhnya bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual. Mahasiswi, yang seharusnya dilindungi, justru menjadi kelompok yang paling rentan.

Data yang dirilis oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi bukan fenomena langka. 

Dalam CATAHU 2022, tercatat ratusan laporan kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan, termasuk universitas. 

Bahkan, survei Kemendikbudristek tahun 2020 memperlihatkan bahwa 1 dari 3 dosen dan tenaga kependidikan pernah mendengar atau menyaksikan kekerasan seksual di kampus. 

Ini menandakan masalah tersebut bukan sekadar “oknum,” melainkan persoalan struktural yang menghantui dunia pendidikan tinggi.

Lebih lanjut, laporan SAFEnet (2021) juga menemukan tren pelecehan berbasis online meningkat, termasuk di kalangan mahasiswa. 

Bentuknya beragam: mulai dari komentar bernuansa seksual, penyebaran foto tanpa izin, hingga ancaman berbasis gender. 

Dunia digital yang seharusnya mendukung pembelajaran malah menjadi ruang baru bagi kekerasan.

Ironinya, banyak kasus yang tidak pernah sampai ke ranah hukum atau sanksi kampus. 

Korban sering bungkam karena takut disalahkan, distigma, atau bahkan diintimidasi. 

Tidak jarang pihak kampus lebih sibuk menjaga nama baik institusi daripada melindungi mahasiswi yang menjadi korban. 

Akibatnya, angka “gunung es” kasus kekerasan seksual di kampus diyakini jauh lebih tinggi dibanding yang tercatat.

Masalah lain yang memperparah adalah minimnya perspektif gender dalam birokrasi kampus. 

Banyak unit layanan pengaduan belum berjalan optimal, atau bahkan tidak ada sama sekali. 

Korban kebingungan harus melapor ke siapa, sementara pelaku bebas berkeliaran dan berpotensi mengulang tindakannya. 

Situasi ini jelas menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi perempuan di perguruan tinggi.

Di tengah kondisi tersebut, pertanyaannya sederhana: sampai kapan mahasiswi harus menghadapi kekerasan seksual tanpa perlindungan yang memadai?

Jawaban atas persoalan ini tidak bisa diserahkan hanya pada kebijakan kampus atau pemerintah. 

Mahasiswi harus membangun kekuatan kolektif untuk menuntut ruang pendidikan yang benar-benar aman, setara, dan bebas dari kekerasan. 

Kami di LMND tidak memandang isu kekerasan seksual sebagai kasus individual, melainkan persoalan struktural yang terkait dengan budaya patriarki dan komersialisasi pendidikan

Organisasi ini mendorong mahasiswi untuk tidak hanya menjadi korban pasif, tetapi menjadi subjek yang berani bersuara, mengorganisir diri, dan memperjuangkan perubahan. 

Dengan berorganisasi, mahasiswi memiliki ruang untuk saling menguatkan, melawan diskriminasi, sekaligus mendesak kampus agar serius menegakkan mekanisme perlindungan korban.

Perubahan nyata hanya mungkin terjadi jika suara perempuan mahasiswa terhimpun dalam kekuatan politik kolektif. 

Berorganisasi bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak untuk menutup ruang impunitas pelaku dan menuntut kampus memenuhi kewajibannya.

Pendidikan tinggi yang terus memelihara budaya bungkam hanya akan melanggengkan kekerasan. 

Karena itu, saatnya mahasiswa—terutama mahasiswi—berdiri bersama, menolak segala bentuk pelecehan, dan merebut kembali hak atas ruang belajar yang aman.

Kampus tidak akan pernah benar-benar aman tanpa keberanian perempuan untuk bersatu dan melawan. 

Dan LMND adalah salah satu rumah perjuangan yang siap mengorganisir kekuatan itu.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url