Membatalkan Harapan: Ketika Bupati TTU Mengabaikan Keadilan bagi 192 Calon PPPK

Padahal, para peserta tersebut telah dinyatakan lulus secara resmi oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) melalui seleksi tahap II yang sah dan transparan.
Kebijakan ini pun menimbulkan pertanyaan besar: di mana letak keadilan bagi mereka yang sudah melewati proses seleksi nasional dengan sah?
Pengamat kebijakan publik, Heni Tael, menilai keputusan Bupati TTU, Falen Kebo, sebagai langkah yang tidak bijaksana dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan.
Menurutnya, bila terdapat dugaan maladministrasi atau kekurangan dokumen, seharusnya pemerintah daerah tidak serta-merta membatalkan hasil kelulusan, melainkan mengajukan klarifikasi atau rekomendasi pembatalan kepada Panitia Seleksi Nasional (Panselnas).
“Kewenangan untuk membatalkan hasil seleksi ada di tingkat nasional, bukan di pemerintah daerah,” tegas Heni Tael.
Pernyataan ini menegaskan bahwa langkah Bupati TTU dianggap melampaui batas kewenangan administratif, karena proses seleksi dan validasi hasil PPPK sepenuhnya merupakan domain Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian PAN-RB, bukan otoritas daerah.
Lebih lanjut, Heni Tael juga menyoroti kebijakan Pemkab TTU yang berencana mengalihkan status 192 calon PPPK menjadi PPPK paruh waktu. Menurutnya, langkah ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Dalam aturan kepegawaian yang berlaku, formasi PPPK paruh waktu hanya diperuntukkan bagi peserta yang tidak lulus seleksi, bukan bagi mereka yang sudah dinyatakan lulus oleh BKN.
Upaya ini justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menurunkan martabat peserta yang telah memenuhi syarat secara sah. “Kebijakan seperti ini berpotensi mencederai sistem merit dan integritas seleksi ASN di daerah,” ujarnya.
Heni juga mengingatkan bahwa pemerintah daerah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebab dampak kebijakan yang salah bukan hanya administratif, tetapi juga moral dan sosial.
Pembatalan kelulusan ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah, khususnya generasi muda TTU yang berharap bisa berkontribusi melalui jalur ASN.
Selain itu, kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan berpotensi menghambat semangat anak muda untuk berkompetisi secara jujur dan terbuka.
Kasus pembatalan kelulusan 192 calon PPPK di Kabupaten TTU bukan hanya persoalan administratif, melainkan ujian bagi integritas dan tanggung jawab moral pemerintah daerah.
Bupati TTU seharusnya menjunjung tinggi asas keadilan, transparansi, dan kepastian hukum—bukan justru menambah luka bagi mereka yang telah berjuang melalui mekanisme yang sah.
Harapan masyarakat TTU kini sederhana: agar pemerintah daerah mengoreksi langkah keliru ini dan memulihkan hak para peserta yang telah lulus secara sah.
Karena pada akhirnya, keadilan bukan sekadar slogan, tetapi wujud nyata dari kepemimpinan yang berintegritas.
Penulis : Yovita Hendrik Tael Mahasiswa Aktif Universitas Timor Program Studi Administrasi Negara