LMND Bali Desak Relokasi Proyek FSRU LNG Sidakarya ke Laut Lepas demi Lindungi Lingkungan dan Nelayan Lokal

 

Dokumentasi Aksi Masa

DENPASAR, BALI – Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Bali mendesak agar proyek pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) LNG di Sidakarya dipindahkan ke lokasi offshore atau perairan laut lepas sejauh minimal 10 kilometer dari garis pantai. Langkah ini dinilai penting untuk menghindari ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan potensi konflik sosial-ekonomi di kawasan tersebut.

Ketua LMND Bali, I Made Dirgayusa, mengungkapkan bahwa lokasi proyek saat ini berada terlalu dekat dengan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, serta mencakup wilayah SEKARTANUR (Serangan, Sidakarya, Mertasari, dan Sanur) yang memiliki fungsi ekologis krusial. Menurutnya, jika tidak direlokasi, proyek ini berpotensi merusak ekosistem mangrove, meningkatkan emisi karbon, serta menimbulkan berbagai risiko hukum dan sosial yang serius.

Berdasarkan hasil telaah dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) proyek FSRU LNG Sidakarya, LMND Bali menemukan berbagai kelemahan, khususnya terkait aspek perlindungan lingkungan dan keselamatan publik. Proyek ini, lanjut Dirgayusa, berpotensi menyebabkan hilangnya 1-2 hektare hutan mangrove—yang menyimpan cadangan karbon sekitar 1.023 MgC per hektare—dan berkontribusi terhadap pelepasan ribuan ton CO₂ ke atmosfer.

Selain itu, kawasan konservasi tersebut merupakan habitat penting bagi spesies langka yang dilindungi, seperti Elang Bondol (Haliastur indus) yang populasinya kini diperkirakan tinggal kurang dari 25 ekor, serta burung migran Gajahan Eurasia (Numenius arquata) yang tergolong terancam punah secara global.

Kegiatan pengerukan sedimen sebanyak 3,3 juta meter kubik untuk mendukung proyek juga diprediksi akan merusak terumbu karang dan padang lamun, yang merupakan sumber pakan utama bagi penyu—satwa yang dilindungi berdasarkan hukum nasional dan konvensi internasional.

Dari sisi sosial-ekonomi, LMND Bali menyoroti dampak serius terhadap mata pencaharian nelayan tradisional. Aktivitas kapal LNG yang memerlukan area manuver luas diperkirakan akan menghilangkan akses tangkap hingga 40% bagi nelayan di wilayah Serangan. Padahal, sekitar 85% penghasilan kelompok nelayan tersebut bergantung pada ekosistem mangrove.

Sektor pariwisata juga terancam, terutama di kawasan wisata Pulau Serangan yang biasanya dikunjungi oleh 400-600 wisatawan per bulan. Proyeksi ANDAL menyebutkan potensi penurunan jumlah wisatawan hingga 200 orang per bulan akibat keberadaan kapal LNG raksasa sepanjang 278 meter yang dianggap merusak pemandangan dan nilai estetika kawasan.

Tidak hanya itu, lokasi proyek juga termasuk dalam zona merah tsunami dengan potensi gelombang 4 hingga 6 meter, menurut data dari InaRISK BNPB. Kajian risiko bencana yang ada dalam dokumen ANDAL pun disebut belum memenuhi standar internasional, seperti yang diatur dalam regulasi COMAH No. 16 yang mengatur mitigasi risiko industri dan efek domino. Proyek yang berdekatan dengan pemukiman padat ini pun dinilai menambah risiko terhadap keselamatan warga.

Dari aspek hukum, Dirgayusa menegaskan bahwa proyek ini berpotensi melanggar berbagai regulasi. Walaupun berada di zona pelabuhan menurut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), infrastruktur pendukung proyek seperti pipa gas LNG justru melintasi kawasan konservasi yang dilindungi, termasuk Tahura Ngurah Rai. Hal ini bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1990 dan Perda Bali No. 16 Tahun 2009, yang berpotensi menimbulkan preseden buruk terhadap kepastian hukum.

Sebagai solusi, LMND Bali merekomendasikan relokasi proyek ke wilayah offshore yang memiliki kedalaman laut alami lebih dari 15 meter. Lokasi alternatif ini dinilai lebih sesuai untuk kebutuhan teknis FSRU, aman dari jalur migrasi mamalia laut, serta memiliki dampak ekologis dan sosial yang lebih minim.***

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url