Masyarakat Adat Nangahale Minta Perlindungan Komnas HAM atas Konflik Lahan dengan PT. Krisrama
![]() |
Beberapa perwakilan masyarakat Adat Nangahale saat mendatangi Komnas HAM |
Sengketa ini mencakup lahan seluas 879 hektare yang terletak di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Lahan yang disengketakan berada di wilayah adat Suku Goban Runut (Kecamatan Waigete) dan Suku Soge Natar Mage (Kecamatan Talibura).
Masyarakat adat menuntut pengakuan atas hak ulayat mereka yang telah mereka tempati dan kelola secara turun-temurun, bahkan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Dalam orasinya, Wilfridus Iko—koordinator aksi—menyatakan bahwa konflik agraria seperti ini tidak hanya terjadi di Sikka, namun menjadi persoalan struktural di berbagai wilayah Indonesia.
“Tanah seluas 879 hektare ini telah dihuni masyarakat adat sejak tahun 1912, jauh sebelum Indonesia merdeka,” tegasnya.
Menurut Iko, penerbitan Surat Keputusan Hak Guna Usaha (SK HGU) No. 01/BPN.53/VII/2023 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi NTT kepada PT. Krisrama dinilai sarat konspirasi dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Ia menyebut bahwa SK tersebut digunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan penggusuran paksa terhadap 120 unit rumah milik warga adat dari dua suku tersebut.
“Sebanyak 120 rumah telah digusur secara paksa. Bahkan, perempuan dan anak-anak menjadi korban tindakan represif oleh pihak perusahaan,” lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Komnas HAM RI menyatakan akan menindaklanjuti laporan tersebut.
Wakil Ketua Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, menyampaikan komitmennya untuk memfasilitasi proses mediasi antara Masyarakat Adat Nangahale dengan pihak PT. Krisrama.
“Kami menerima laporan ini dengan serius dan akan mengupayakan penyelesaian secara damai dan adil,” ujar Semendawai dalam forum dengar pendapat.
Aksi ini menambah daftar panjang perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas tanah leluhur mereka di tengah gempuran investasi dan penguasaan lahan skala besar.