Mengejutkan! Ruang Digital Tak Ramah Bagi Perempuan, Jadi Wadah Kekerasan dan Pelecehan Seksual, Ini Faktanya
Elemendemokrasi.com - Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan merupakan isu yang telah berlangsung lama dan masih menjadi kenyataan menyakitkan hingga hari ini.
Sejak zaman dahulu, perempuan kerap menjadi korban dalam sistem sosial yang tidak berpihak.
Tubuh, pikiran, bahkan harga diri mereka dijadikan objek kekuasaan yang tak setara.
Namun, bentuk kekerasan dan pelecehan itu kini mengalami transformasi.
Di era digital, kekerasan dan pelecehan tidak hanya hadir di ruang fisik, tetapi juga menjelma dalam bentuk kekerasan siber.
Media sosial, yang awalnya dirancang untuk mempererat hubungan manusia, kini menjadi salah satu saluran baru bagi kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Data tahun 2024 mencatat lonjakan signifikan dalam kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di Indonesia, dengan angka mencapai 445.502 kasus—meningkat hampir 10% dibandingkan tahun sebelumnya.
Fakta ini mencerminkan bahwa kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan masih menjadi persoalan mendesak yang harus diselesaikan secara serius.
Yang paling memilukan, banyak korban berasal dari kelompok rentan seperti perempuan dengan disabilitas dan gangguan kesehatan mental.
Mereka sering kali menjadi sasaran empuk karena kurangnya perlindungan dan minimnya kesadaran masyarakat terhadap hak mereka.
Selama berabad-abad, perempuan telah ditekan oleh norma sosial patriarkal.
Mereka diajarkan untuk tunduk, bekerja tanpa penghargaan, dan menerima kekerasan sebagai bagian dari "kodrat" hidup.
Ketika mereka tertipu, mereka disalahkan.
Saat jatuh, mereka dihukum oleh pandangan sosial yang menyudutkan.
Kini, bentuk kekerasan dan pelecehan itu tidak hanya hadir dalam bentuk fisik, tapi juga menyusup lewat perangkat digital.
Kekerasan dan pelecehan berbasis gender di internet berkembang pesat.
Media sosial menjelma ladang baru bagi pelecehan, penghinaan, dan ancaman terhadap perempuan.
Tubuh perempuan dieksploitasi secara daring; foto dan video pribadi mereka disebarluaskan tanpa izin.
Pelecehan seksual hadir dalam komentar, pesan pribadi, hingga penyebaran konten intim sebagai bentuk balas dendam atau revenge porn.
Dalam hitungan detik, hidup seorang perempuan bisa hancur karena satu unggahan digital.
Cyber bullying yang dialami perempuan sering kali mengandung unsur seksual dan misoginis.
Reputasi mereka dihancurkan, martabat diinjak-injak, dan trauma ditinggalkan.
Mirisnya, banyak masyarakat justru ikut terlibat sebagai pelaku pasif—menyebarkan, menertawakan, bahkan menyalahkan korban.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa literasi digital kita masih rendah.
Banyak pengguna internet belum memahami bahwa interaksi daring membawa dampak nyata.
Komentar dapat melukai, unggahan bisa merusak hidup seseorang, dan media sosial bukanlah ruang bebas tanpa batas.
Kita harus menyadari bahwa di balik setiap akun, ada manusia dengan perasaan dan martabat.
Oleh karena itu, kekerasan terhadap perempuan tidak bisa lagi dipandang sebagai isu konvensional.
Ia telah berevolusi menjadi bentuk baru yang lebih tersembunyi, menyebar cepat, dan sulit dikendalikan.
Namun, menyalahkan teknologi semata tentu tidak menyelesaikan masalah.
Teknologi adalah alat netral—manfaat atau bahayanya ditentukan oleh penggunanya.
Yang perlu kita benahi adalah kesadaran kolektif, empati, dan pendidikan literasi digital.
Sudah saatnya kita membangun budaya digital yang aman dan inklusif bagi semua, terutama perempuan.
Edukasi digital harus menjadi gerakan bersama.
Kita perlu mengajarkan masyarakat untuk berpikir sebelum berkomentar, memahami konsekuensi dari setiap tindakan di internet, dan menghormati hak digital orang lain.
Selain itu, platform media sosial harus meningkatkan tanggung jawab dalam menjaga keamanan penggunanya.
Sistem pelaporan dan perlindungan harus lebih responsif, adil, dan berpihak kepada korban.
Yang terpenting, seluruh elemen masyarakat—individu, komunitas, hingga negara—harus bersatu menciptakan ruang aman bagi perempuan, baik di dunia nyata maupun digital.
Setiap perempuan berhak hidup tanpa rasa takut, tanpa kekerasan, dan tanpa diskriminasi.
Kemajuan sebuah bangsa ditentukan dari sejauh mana ia mampu melindungi separuh penduduknya dari kekerasan dalam bentuk apa pun, di mana pun.***
Penulis: Anggota Berbakat EK LMND TTU Selmi Kause