Mimbar Bebas Mahasiswa dalam Bayang-bayang Represi Kampus
![]() |
Suasana Mimbar Bebas E-Kom LMND UNPAM di Kampus UNPAM Serang / Dokumentasi Pribadi |
Larangan mimbar bebas di kampus bukan sekadar soal teknis tata tertib, melainkan cermin dari kontradiksi yang terus diwariskan. Mahasiswa dijamin oleh konstitusi, tepatnya Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan kebebasan akademik sebagai fondasi universitas. Namun realitasnya, berbagai aturan internal kampus sering digunakan untuk membatasi ekspresi mahasiswa dengan alasan menjaga ketertiban dan ketenangan akademik.
Jika dibaca dengan kerangka materialisme historis Karl Marx, universitas tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia adalah bagian dari suprastruktur yang mereproduksi kepentingan basis ekonomi dan politik. Basis material berupa kebutuhan pasar tenaga kerja dan stabilitas politik menuntut lahirnya aturan yang memastikan kampus menjadi ruang yang “tertib” dan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan kapital dan birokrasi. Larangan mimbar bebas adalah ekspresi dari kontradiksi itu: di satu sisi kebebasan akademik dijunjung, di sisi lain kontrol institusional ditegakkan untuk meredam suara yang dianggap mengganggu.
Sejarah Indonesia memperlihatkan pola berulang. Pada masa Orde Baru, kebijakan NKK/BKK tahun 1978 membatasi aktivitas politik mahasiswa dengan dalih menjaga stabilitas. Argumennya sederhana: lebih baik kampus tenang daripada gaduh. Namun pembatasan itu justru melahirkan gerakan bawah tanah yang semakin kritis dan akhirnya meledak dalam Reformasi 1998. Dari sini terlihat jelas bahwa represi terhadap ruang ekspresi mahasiswa bukan hanya melanggar hak, tetapi juga kontraproduktif. Larangan tidak pernah berhasil membungkam; ia hanya menunda gelombang resistensi.
Teori Marx tentang alienasi juga relevan untuk membaca situasi ini. Mahasiswa yang melihat kampus sebatas pabrik tenaga kerja merasa terasing dari tujuan sejati pendidikan, yaitu pencarian kebenaran dan pembebasan intelektual. Ketika ruang berekspresi ditutup, kesadaran kritis justru tumbuh bahwa kampus bukanlah arena netral, melainkan ruang pertarungan ideologi. Kontradiksi ini adalah bahan bakar yang mendorong mahasiswa untuk melawan pembatasan.
Dialog dengan kampus seharusnya tidak berhenti pada perdebatan administratif. Mahasiswa berhak menegaskan bahwa kebebasan akademik adalah hak konstitusional, bukan fasilitas yang bisa dicabut oleh peraturan rektor atau senat. Larangan mimbar bebas justru memperlihatkan ketakutan institusi terhadap daya kritis mahasiswa, padahal sejarah membuktikan bahwa energi kritis itu yang berkali-kali menjadi motor perubahan bangsa. Alih-alih menutup ruang, kampus seharusnya membuka mimbar bebas sebagai wadah dialektis untuk memperkaya wacana akademik.
Kontradiksi antara kebebasan yang dijamin hukum dan pembatasan yang diberlakukan kampus tidak bisa dihapus dengan larangan. Ia hanya bisa ditransformasikan melalui kesadaran baru, baik di kalangan mahasiswa maupun pengelola kampus, bahwa universitas adalah rumah dialog, bukan ruang kontrol. Itulah yang diajarkan oleh dialektika sejarah: setiap represi melahirkan perlawanan, dan dari benturan itulah lahir kemungkinan perubahan.
Pada akhirnya, pembungkaman ekspresi mahasiswa bukan hanya persoalan internal kampus, tetapi bagian dari pola panjang kontrol ideologis negara atas pendidikan. Membaca kebijakan ini dengan kacamata materialisme historis membantu kita memahami bahwa larangan tersebut bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari relasi kuasa yang konkret. Pertanyaan pentingnya: apakah kita akan membiarkan kampus terus berfungsi sebagai pabrik reproduksi kepatuhan, atau mendorongnya kembali menjadi ruang subur bagi kebebasan akademik dan kesadaran kritis?