Menimbang Kewenangan dan Etika Kekuasaan: Di Balik Penonaktifan Kepala Dinas Dukcapil TTU

Keputusan Bupati Timor Tengah Utara (TTU) Nomor 880.1.3.3/257/BKPSDMD tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dari Jabatan Pimpinan Tinggi Pertama di Lingkungan Pemerintah Kabupaten TTU atas nama Richardus Erwin Taolin, SE, sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten TTU, telah memantik respons dan diskusi publik yang ramai, beragam, juga alot. Pihak pemerintah daerah menyatakan bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari upaya penguatan reformasi birokrasi

Namun, respons demikian tampaknya belum mampu menjawab beberapa pertanyaan krusial seputar kebijakan tersebut. 

Misalnya, sejauh mana kewenangan kepala daerah dapat digunakan dalam pengelolaan jabatan Dukcapil? Apakah kebijakan tersebut berkesesuaian dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik?

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi penjelasan yang lebih jernih kepada publik tentang polemik penonaktifan Kepala Dinas Dukcapil, dengan bertitik tolak dari premis dasar bahwa diskursus tentang kebijakan tersebut bukan sekadar soal “hak bupati”, tetapi juga soal aturan hukum khusus dan prinsip etika kekuasaan dalam tata kelola pemerintahan daerah.

Reformasi birokrasi merupakan upaya sistematis dan berkelanjutan untuk memperbaiki struktur, proses, dan budaya kerja birokrasi agar lebih efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. 

Tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). 

Reformasi birokrasi di Indonesia menekankan perbaikan pada delapan area perubahan, seperti organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, serta pola pikir dan budaya kerja. 

Dengan demikian, reformasi birokrasi menjadi strategi penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah serta mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (KemenPANRB, 2010).

Secara prinsipil, reformasi birokrasi merupakan tujuan mulia. Kepala daerah memiliki mandat politik dan tanggung jawab administratif untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, termasuk dengan melakukan penyegaran jabatan. 

Inilah yang menjadi dasar bagi Bupati TTU melakukan tindakan nonjob terhadap Kadis Dukcapil

Namun, dalam konteks hukum administrasi dan regulasi nasional, jabatan Kepala Dinas Dukcapil memiliki kedudukan khusus karena menyangkut urusan administrasi kependudukan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 76 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat pada Unit Kerja Penyelenggara Administrasi Kependudukan di Daerah, setiap mutasi, pemberhentian, atau pengangkatan pejabat Dukcapil harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri

Artinya, bupati tidak dapat secara sepihak memberhentikan kepala Dinas Dukcapil tanpa persetujuan Kemendagri.

Dengan demikian, meskipun dalih reformasi birokrasi dapat dipahami sebagai bagian dari upaya pembenahan manajemen aparatur, kebijakan tersebut harus tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku.

 Prinsip good governance menuntut setiap tindakan pemerintahan didasarkan pada asas legalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Ketika prinsip-prinsip itu diabaikan, maka semangat reformasi birokrasi justru kehilangan legitimasi moral dan hukum.

Pada titik inilah penting bagi publik untuk menilai secara objektif: apakah kebijakan pemberhentian ini benar-benar merupakan bentuk reformasi birokrasi atau justru praktik yang melampaui batas kewenangan kepala daerah. 

Birokrasi yang sehat tidak hanya diukur dari keberanian melakukan perombakan jabatan, tetapi dari kesesuaian tindakan tersebut dengan hukum dan etika pemerintahan.

Reformasi birokrasi sejatinya bukan sekadar perombakan personel, melainkan perubahan sistem yang berorientasi pada pelayanan publik.

Oleh karena itu, langkah Bupati TTU seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek politik kekuasaan, tetapi juga dari komitmen terhadap supremasi hukum dan penghormatan terhadap mekanisme pemerintahan yang diatur secara nasional.


Penulis: Marsiana Do Santos meneses Mahasiswa Aktif Universitas Timor Program Studi Administrasi Negara 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url