Sonaf Besi dan Arah Baru Penafsiran Sejarah TTU
Polemik pergantian tulisan nama pada tugu di perbatasan Kota Kefamenanu dari Biinmaffo menjadi Sonaf Besi memunculkan perdebatan hangat di tengah masyarakat Timor Tengah Utara.
Di permukaan, perubahan ini tampak seperti hal sederhana, namun sesungguhnya menyentuh hal yang paling mendasar dalam kehidupan sosial: persoalan sejarah, identitas, dan makna kebersamaan.
Bupati Timor Tengah Utara, Yosep Falentinus Delasalle Kebo, menjelaskan bahwa perubahan nama tersebut dilakukan untuk mengembalikan sejarah pada dudukan yang dianggap benar. Nama Sonaf Besi disebut sebagai bentuk penyatuan seluruh unsur adat dan budaya di wilayah TTU.
Sonaf dimaknai sebagai singkatan dari Salu, O untuk Miomafo, N untuk Kuluan, dan AF yang berarti rumah, sementara kata Besi merujuk pada Maubesi.
Dengan demikian, Sonaf Besi diartikan sebagai Salu Miomafo Kuluan Maubesi—sebuah simbol penyatuan yang diharapkan dapat merangkul semua elemen masyarakat.
Namun, dalam pandangan sebagian warga dan tokoh adat, langkah tersebut menimbulkan pertanyaan.
Nama Biinmaffo yang telah lama digunakan memiliki sejarah tersendiri, mengandung nilai kebersamaan antara tiga wilayah besar yakni Biboki, Insana, dan Miomafo.
Pergantian nama itu dinilai terlalu tergesa dan dilakukan tanpa dialog yang cukup dengan para pemangku adat.
Bagi masyarakat adat, setiap penyebutan nama bukan sekadar penanda geografis, tetapi juga simbol identitas dan keseimbangan hubungan antarwilayah.
Karena itu, perubahan tanpa musyawarah yang mendalam dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap makna historis yang telah hidup turun-temurun.
Di satu sisi, upaya pemerintah untuk meluruskan sejarah patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap warisan masa lalu.
Namun di sisi lain, pelurusan sejarah tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan tafsir satu pihak.
Sejarah adalah hasil dari perjalanan panjang masyarakat, bukan keputusan administratif semata.
Jika perubahan dilakukan tanpa keterlibatan semua unsur, maka niat baik untuk meluruskan justru berpotensi menimbulkan perpecahan dan kecurigaan baru.
Nama bukan sekadar tulisan di atas batu tugu. Ia adalah simbol yang menampung makna, perasaan, dan ingatan kolektif sebuah masyarakat.
Ketika nama itu diganti, yang berubah bukan hanya tulisan, melainkan juga cara sebuah komunitas memandang dirinya sendiri.
Karena itu, setiap perubahan semestinya dilandasi musyawarah dan kesepakatan bersama agar tidak menimbulkan luka sosial di kemudian hari.
Sonaf Besi bisa menjadi simbol baru yang menyatukan, tetapi juga bisa menjadi penanda perpecahan jika tidak dipahami secara bersama.
Persoalan ini mestinya menjadi pelajaran bahwa sejarah dan identitas bukanlah ruang kompetisi antarwilayah, melainkan rumah bersama yang harus dijaga dengan kebijaksanaan dan rasa hormat.
Penulis: Putra Seran Mahasiswa Aktif Universitas Timor, Program Studi Administrasi negara