Feminisme di Bawah Cengkeraman Kapitalisme: Alat Perjuangan Kelas, atau Hanya Sekadar Wacana Kesetaraan?
![]() |
Faridhotul Jannah, Mahasiswa Hukum Universitas Bina Bangsa, Sekretaris Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK LMND) Serang |
Ada yang hilang dari semangat feminisme hari ini. Di balik jargon kesetaraan dan pemberdayaan, gerakan perempuan perlahan kehilangan denyut politiknya. Perjuangan yang dulu lahir dari kesadaran kolektif kini berubah menjadi program yang terukur, rapi, dan aman. Feminisme menjadi proyek yang bisa didanai, bukan lagi gerakan yang mengguncang kesadaran sosial.
Dewasa ini, gerakan feminis kerap dituding terlalu banyak menuntut di tengah terbukanya peluang bagi perempuan. Stereotip itu tumbuh karena feminisme tampak kehilangan arah, lebih sering dipahami sebagai ekspresi identitas daripada strategi politik. Ia dianggap usang, bahkan kadang berlebihan ketika bersinggungan dengan kultur timur yang konservatif dan memelihara hierarki gender.
Namun tudingan itu tidak sepenuhnya keliru. Pada gelombang keempat ini, feminisme memikul beban yang rumit. Ketika gagasan tentang inklusivitas dan interseksionalitas muncul, sebagian masyarakat menilainya terlalu radikal, bahkan mengaitkannya secara mentah dengan normalisasi orientasi seksual yang berbeda. Di sinilah perdebatan muncul, apakah feminisme masih relevan dengan realitas sosial Indonesia yang religius dan patriarkal.
Data menunjukkan kemajuan. Indeks Pemberdayaan Gender Indonesia pada 2023 mencapai 76,90, sedikit meningkat dari tahun sebelumnya. Akses perempuan terhadap pendidikan dan ruang publik semakin terbuka. Namun angka-angka itu tidak otomatis mencerminkan pembebasan. Sebab pemberdayaan yang bersandar pada logika kapitalistik sering kali hanya memperluas pasar, bukan memperluas kesadaran. Banyak perempuan memang bekerja, tetapi dalam sistem yang tetap menindas, menggaji murah, dan menuntut kepatuhan pada struktur yang sama.
Inilah paradoks feminisme kontemporer. Gerakan yang lahir dari perlawanan terhadap struktur justru terjebak dalam struktur itu sendiri. Ketika emansipasi direduksi menjadi partisipasi administratif, ia kehilangan daya radikalnya. Ketika pemberdayaan dijadikan proyek pemerintah atau korporasi, semangat pembebasan berubah menjadi laporan keberlanjutan yang indah di atas kertas. Perempuan memang dilibatkan, tetapi seringkali tanpa kuasa menentukan arah kebijakan yang menyentuh hidup mereka.
Sudah saatnya kita menafsir ulang arah perjuangan perempuan. Emansipasi tidak boleh berhenti pada pemberian akses, melainkan harus berlanjut pada penguasaan kuasa dan produksi. Feminisme bukan sekadar soal representasi di ruang publik, tetapi tentang siapa yang mengontrol struktur sosial, ekonomi, dan politik yang membentuk kehidupan perempuan sehari-hari.
Harmonisasi gender bukan bentuk kompromi, melainkan strategi pembebasan baru. Ia menuntut kesalingan antara perempuan dan laki-laki dalam melawan sistem yang menindas keduanya. Ketidakadilan gender tidak lahir dari perbedaan biologis, melainkan dari tatanan sosial yang menormalisasi dominasi.
Gerakan perempuan perlu kembali pada akar politiknya, membangun solidaritas lintas kelas, lintas identitas, dan lintas kepentingan. Feminisme sejati tidak berhenti pada simbol atau kuota, melainkan menantang sistem yang menjadikan perempuan sekadar angka dalam laporan pembangunan.
Perempuan hari ini tidak sedang meminta ruang. Mereka sedang menegaskan haknya untuk menentukan arah perubahan. Perjuangan feminis bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi tentang siapa yang berani menggugat ketimpangan yang disembunyikan oleh kata kemajuan.
Penulis : Faridhotul Jannah
Sekretaris Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK LMND) Serang