Agama Monoteis di Nusantara
MindsetBanten.com - Telah sejak lama kita memperoleh pengetahuan yang salah tentang sistem kepercayaan leluhur yang berada di Nusantara yang kita kenal sebagai Animisme dan Dinamisme. Padahal, sistem kepercayaan leluhur nusantara sudah jauh lebih maju dan sudah mengenal konsepsi 'Tuhan Esa/monoteis' atau yang belakangan dikenal sebagai agama Kapitayan dan Tata-titi.
Secara gamblang kepercayaan animisme adalah sistem kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda seperti pohon, batu, sungai, gunung dan lain-lain yang dianut oleh manusia.
Sementara Kepercayaan Dinamisme adalah sebuah kepercayaan yang menganggap segala sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang dapat membantu manusia dan mendatangkan keberuntungan.
Dua kepercayaan ini eksis di dalam hampir semua literatur, dan telah ditransformasikan lewat lembaga-lembaga pendidikan berpuluh-puluh tahun.
Belakangan, konsepsi sistem kepercayaan ini mendatangkan penolakan dari salah seorang sejarawan, Agus Sunyoto. Dan perihal agama yang disebut dimuka telah dikisahkan secara terperinci melalui trilogi Suluk Abdul Jalil, buku ke tiga berjudul "Sang Pembaharu, Perjuangan dan Ajaran Syeh Siti Jenar".
Kisah dimulai saat Syekh Siti Jenar telah pulang ke tanah Caruban usai menjalani suluk selama belasan tahun. Setelah pulang, ia mengemban misi untuk menyebarluaskan ajaran keselamatan dunia akhirat (Agama Islam) di Nusa Jawa ini.
Saat keliling masuk desa-desa ditemani Ki Samadullah, nama lain Sri Mangana atau Raden Walangsungsang, ia melihat perubahan-perubahan yang begitu besar sejak ayahanda angkatnya itu dinobatkan menjadi raja di Cirebon oleh Sri Prabu Guru Dewataprana Ratu Haji atau Prabu Siliwangi.
Ketika masuk di Desa kecil (Padukuhan), Syeh Siti Jenar dan Raden Walangsungsang melihat sesosok laki-laki asing berukuran besar dihadapannya secara tiba-tiba. Setelah memulai perbincangan dan perkenalan, diketahui sosok bertubuh besar tersebut bernama Dang Hyang Semar.
Ketika masuk di Desa kecil (Padukuhan), Syeh Siti Jenar dan Raden Walangsungsang melihat sesosok laki-laki asing berukuran besar dihadapannya secara tiba-tiba. Setelah memulai perbincangan dan perkenalan, diketahui sosok bertubuh besar tersebut bernama Dang Hyang Semar.
Dalam perbincangan itu Dang Hyang Semar menyampaikan bahwa dirinya merupakan manusia yang diutus oleh Sang Hyang Tunggal untuk menyampaikan ajaran Tauhid kepada makhluk di nusa jawa ini ribuan tahun yang lalu.
Jauh sebelum manusia menempati bumi, sesungguhnya mahluk berbadan halus telah lebih dulu menghuni bumi dan melakukan kerusakan serta suka menumpahkan darah antar sesamanya. Ketika manusia menggantikan mereka untuk menghuni bumi, mereka terusir ke berbagai samudra raya dan ke pulau-pulau kecil. Namun manusia pun ternyata melakukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya, yakni menebar kerusakan dan pertumpahan darah.
Untuk mensucikan bumi dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab, Sang Hyang Taya (Tuhan) menenggelamkan manusia dengan banjir bah. Dari peristiwa itu, Dang Hyang Semar dan para pengikutnya selamat dari bencana dan terdampar di sebuah tempat bernama Pulau Kendhang yang ternyata sudah dihuni oleh makhluk berbadan halus berupa kawakan kera raksasa dan banga siluman.
Tentu saja kehadiran Dang Hyang Semar penciptakan penolakan dari kawanan bangsa halus itu karena dianggap asing. Setelah tiga ratus tahun lamanya berselisih, kedua belah pihak menemui kesepakatan untuk bisa berdampingan tanpa saling mengganggu.
Jauh sebelum manusia menempati bumi, sesungguhnya mahluk berbadan halus telah lebih dulu menghuni bumi dan melakukan kerusakan serta suka menumpahkan darah antar sesamanya. Ketika manusia menggantikan mereka untuk menghuni bumi, mereka terusir ke berbagai samudra raya dan ke pulau-pulau kecil. Namun manusia pun ternyata melakukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya, yakni menebar kerusakan dan pertumpahan darah.
Untuk mensucikan bumi dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab, Sang Hyang Taya (Tuhan) menenggelamkan manusia dengan banjir bah. Dari peristiwa itu, Dang Hyang Semar dan para pengikutnya selamat dari bencana dan terdampar di sebuah tempat bernama Pulau Kendhang yang ternyata sudah dihuni oleh makhluk berbadan halus berupa kawakan kera raksasa dan banga siluman.
Tentu saja kehadiran Dang Hyang Semar penciptakan penolakan dari kawanan bangsa halus itu karena dianggap asing. Setelah tiga ratus tahun lamanya berselisih, kedua belah pihak menemui kesepakatan untuk bisa berdampingan tanpa saling mengganggu.
Ada setidaknya lima syarat dan kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri perselisihan antar keduanya, yang antara lain:
- Pertama, bangsa manusia yang tinggal di Pulau Kendhang tidak diperbolehkan mengganggu adat kebiasaan bangsa berbadan halus, terutama adat kebiasaan menyelenggarakan perayaan pesta darah manusia.
- Kedua, Dang Hyang Semar menjadi guru loka bagi bangsa manusia dan bangsa berbadan halus di Pulau Kendhang.
- Ketiga, seluruh bangsa halus harus tunduk di bawah perintah Dang Hyang Semar.
- Keempat, bangsa berbadan halus tidak akan mengganggu manusia yang benar-benar memuja Sang hyang Taya sebagaimana diajarkan Dang Hyang Semar.
- Kelima, untuk melangsungkan tradisi pesta darah manusia, bangsa berbadan halus diperbolehkan memilih korban manusia yang tidak mengikuti atau menyimpang dari ajaran Dang Hyang Semar.
Sejak saat itukah Dang Hyang Semar bebas melakukan syi'ar, menyebarkan ajaran kepada umat manusia untuk menyembah Tuhan satu, Sang Hyang Taya.
Dalam perbincangannya dengan Syeh Siti Jenar, Dang Hyang Semar Menjelaskan bahwa Sang Hyang Taya (Jawa Kuno: Suwung, Hampa, Awang-awang) adalah Dzat yang tidak dilahirkan, tidak berawal juga berakhir serta tidak bisa dijangkau oleh manusia (transendental).
Karena Transenden, untuk menyembah-Nya manusia mengenal-Nya melalui pengejawantahan kekuatan dan kekuasaan-Nya di alam ini sebagai pribadi Ilahi yang menjadi sumber segala sumber kehidupan yang tergelar di alam semesta, yakni pribadi Ilahi yang memiliki nama dan sifat sebagai pengenal keberadaan diri-Nya. Pengejewantahan pribadi ilahi itu disebut dengan Tu atau To. Dari nama dan sifat itulah manusia secara samar-samar sudah bisa mengenali keberadaan Dzat Sang Hyang Taya.
Meski pribadi Ilahi tunggal, namun Dia memiliki dua sifat yang berbeda. Yang pertama Tu yang baik, yang memberikan kemuliaan, kemakmuran dan keselamatan kepada manusia, Tu yang pertama inilah yang disebut Tu-han. itulah yang dikenal dengan nama Sanghyang Tunggal (Maha Esa); Satu pribadi Ilahi yang selain memiliki nama dan sifat tunggal juga memiliki nama dan sifat wenang (Mahakuasa).
Yang kedua adalah sifat Tu atau To yang tidak baik, yaitu yang mendatangkan kejahatan, kehinaan, kenistaan, kesesatan, dan kebinasaan. Tu itulah yang dikenal dengan nama Han-Tu. Sifat Tu yang tidak baik, yaitu Han-Tu, itulah yang disebut dengan nama Sang hyang Manikmaya (Jawa Kuno: Permata Khayalan). Sanghyang Manikmaya, pribadi Ilahi yang hanya diketahui nama dan sifat-Nya itu, tak berbeda dengan Sanghyang Tunggal, yakni memiliki nama dan sifat wenang juga.
Dalam menjalankan tugas sucinya, Dang Hyang Semar tidak sendirian. Ia dibantu oleh saudara sekandungnya yang bernama Sang To-Gog. Ajaran yang disampaikan Dang Hyang Semar untuk memuja Sang Hyang Tunggal adalah Agama Kapitayan, sementara yang disampaikan oleh sauraranya Sang To-gog adalah agama Tata Titi dalam memuja Sang Hyang Manikmaya.
Dari dua ajaran yang disampaikan oleh keduanya sesungguhnya bersumber pada yang Esa. Hanya saja jalan penyembahannya yang berbeda. Jika Kapitayan proses penyembahannya hanya menempuh satu jalan, sementara Tata Titi harus menempuh berbagai macam jalan.
Dalam proses menyembah Sanghyang Taya (Tu-han) ada dua cara yang harus dilakukan. Yang pertama menggunakan alat bantu yang diejawantahkan dalam wujud yang kasatmana seperti menggunakan Tu-Buh atau dengan wa-Tu. Sementara untuk menyembah Sanghyang manikmaya (han-Tu) diwejuantahkan melalui berbagai sarana benda yang kasatmana seperti dengan wa-Tu, Tu-gu, un-Tu (gigi), pin-Tu, Tu-fang, Tu-nggu/(bendera), Tu-mbak, Tu-lup (sumpit), Tu-nggak (tonggak), Tu-rumbuhan (beringin), Tu-ban (air terjun), Tu-k (mata air), To-peng, To-san (pusaka), To-pong (mahkota), To-parem (baju rompi), To-wok (lembing), To-ya (air), dengan sesaji-sesaji berupa Tumpeng, Tu-d (bunga pisang), dan Tu-mbu (tempat sesaji dari anyaman bambu).
Ketika manusia sudah dilimpahi keberkahan, mereka akan memiliki kekuatan gaib yang dilimpahkan kepada dirinya oleh Sanghyang Taya maupun Sanghyang Manikmaya. Jika kekuatan yang dilimpahkan kepada manusia itu bersifat memberkati, mengayomi, melindungi dan menyelematkan itu disebut dengan Tu-ah.
Sementara jika kekuatan gaib itu bersifat menghukum, mengutuk, mendatangkan bencana, dan membinasakan maka itu disebut Tu-lah. Kita mungkin saja sering mendengar istilah terakhir ini, atau yang akrab dalam bahasa kita Ketulah. Orang-orang tua umumnya masih menggunakan istilah ini jika melihat orang kecelakaan atau mendapatkan musibah.
Tu-ah dan Tu-lah yang dilimpahi kepada seseorang atas pemujaannya kepada Sanghyang Taya dan Sang Hyang Manikmaya ini ditandai dengan sifat PI (Jawa Kuno; Rahasia, tersembunyi). Dengan begitu, mereka yang telah dilimpahi kekuatan gaib tersebut ucapannya akan disebut Pi-dato, jika mereka mendengar sesuatu disebut PI-harsa, jika mereka mengajarkan sesuatu ilmu pengetahuan disebut PI-wulung, jika mereka memberi petuah disebut PI-tutur, jika mereka memberikan arah dan petunjuk disebut PI-tuduh, jika mereka memberikan hukuman disebut PI-dana, mereka memancarkan kekuatan dikatakan Pi-deksa, jika mereka memberikan keteguhan kepada orang lain disebut Pi-andel, jika mereka mengobati orang lain dikatakan jam-Pi, bahkan jika mereka sudah tua dan sering lupa dikatakan Pi-kun.
Orang-orang yang demikian menurut ajaran Kapitayan dan Tata Titi berhak menjadi pemimpin bagi umat manusia. Dan orang orang seperti ini dengan hormat orang menjulukinya Pi-nituha, Pi-nituhu, dha-Tu, dan ra-Tu. Pun ketika mereka mati disebut dengan PI-tara (Arwah Leluhur).
Meskipun benar bahwa nenek moyang kita menganut Animisme-Dinamisme, tidak mustahil bahwa ajaran Danghyang Semar ini juga menjadi kepercayaan yang mendominasi dikalangan orang-orang Baheula. Sama halnya dengan agama-agama besar pada masa sekarang yang agama minoritaspun turut membersamainya.
Tu-ah dan Tu-lah yang dilimpahi kepada seseorang atas pemujaannya kepada Sanghyang Taya dan Sang Hyang Manikmaya ini ditandai dengan sifat PI (Jawa Kuno; Rahasia, tersembunyi). Dengan begitu, mereka yang telah dilimpahi kekuatan gaib tersebut ucapannya akan disebut Pi-dato, jika mereka mendengar sesuatu disebut PI-harsa, jika mereka mengajarkan sesuatu ilmu pengetahuan disebut PI-wulung, jika mereka memberi petuah disebut PI-tutur, jika mereka memberikan arah dan petunjuk disebut PI-tuduh, jika mereka memberikan hukuman disebut PI-dana, mereka memancarkan kekuatan dikatakan Pi-deksa, jika mereka memberikan keteguhan kepada orang lain disebut Pi-andel, jika mereka mengobati orang lain dikatakan jam-Pi, bahkan jika mereka sudah tua dan sering lupa dikatakan Pi-kun.
Orang-orang yang demikian menurut ajaran Kapitayan dan Tata Titi berhak menjadi pemimpin bagi umat manusia. Dan orang orang seperti ini dengan hormat orang menjulukinya Pi-nituha, Pi-nituhu, dha-Tu, dan ra-Tu. Pun ketika mereka mati disebut dengan PI-tara (Arwah Leluhur).
Meskipun benar bahwa nenek moyang kita menganut Animisme-Dinamisme, tidak mustahil bahwa ajaran Danghyang Semar ini juga menjadi kepercayaan yang mendominasi dikalangan orang-orang Baheula. Sama halnya dengan agama-agama besar pada masa sekarang yang agama minoritaspun turut membersamainya.
Pengulas: Syamsul Ma'arif