Taubat Mahasiswa: Refleksi, Kritik, dan Tuntutan atas Pergeseran Gerakan Mahasiswa Pasca-Reformasi

Ilustrasi
Mahasiswa Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan mulia dalam perjuangan sosial dan politik bangsa. Mereka bukan hanya pelajar, tapi penggerak sejarah. Sejak era kolonial hingga Reformasi 1998, mahasiswa memainkan peran penting sebagai aktor moral dan politik. Mereka menggagas Sumpah Pemuda, memaksa pembacaan Proklamasi, menggulingkan Soekarno, melawan Soeharto, hingga membakar semangat rakyat dalam mimbar bebas di Gedung DPR.

Namun hari ini, kita menyaksikan sesuatu yang berbeda. Gerakan mahasiswa tak lagi memiliki gigi yang tajam. Ia nyaris tak punya daya gugat terhadap kekuasaan. Ia hidup, tetapi tidak mengancam. Ia ramai, tetapi kosong. Jika dulu mahasiswa adalah ancaman bagi ketidakadilan, kini mereka hanya pelengkap dalam acara seremonial kampus.

Organisasi mahasiswa berubah menjadi event organizer. Mereka lebih sibuk mengurus proposal kegiatan, mencari sponsor, dan mendokumentasikan acara. Seminar, pelatihan, lomba, dan konser kampus berjalan berbulan-bulan, namun substansi perjuangan nyaris tak ada. Diskusi politik digantikan oleh konten Instagram. Pendidikan kader digantikan oleh workshop motivasi. Semangat perubahan digantikan oleh semangat publikasi.

Gerakan mahasiswa kehilangan orientasi politik karena warisan depolitisasi Orde Baru tidak pernah benar-benar dilawan. Program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) memang sudah mati secara administratif, tapi warisannya tetap hidup dalam mentalitas birokratis dan apolitis mahasiswa. Kampus hari ini menjadi tempat yang “aman” dari pikiran-pikiran berbahaya—dan mahasiswa pun dididik untuk menjadi jinak.

Bentuk paling nyata dari krisis ini terlihat dalam pengabdian masyarakat, khususnya melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dahulu, pengabdian berarti menyatu dengan rakyat, belajar dari kehidupan mereka, dan ikut memperjuangkan hak-hak mereka. Hari ini, KKN justru menjadi ajang formalitas. Mahasiswa datang ke desa hanya untuk memenuhi kewajiban akademik, bukan sebagai bentuk komitmen ideologis.

Berdasarkan evaluasi Kemdikbud, lebih dari 60 persen program KKN di Indonesia hanya menghasilkan output dekoratif: pengecatan gapura, sosialisasi umum, lomba anak-anak, dan pelatihan komputer dasar. Tak ada pemetaan masalah struktural, tak ada advokasi, dan tak ada kesinambungan. Mahasiswa tidak lagi hadir sebagai pembelajar sosial, melainkan sebagai “tamu akademik” yang datang dan pergi tanpa meninggalkan perubahan berarti.

Gerakan aksi juga mengalami krisis. Mahasiswa memang masih turun ke jalan, tetapi tidak karena hasil pembacaan sosial yang mendalam. Mereka turun karena isu sedang ramai di media sosial. Mereka bergerak karena viral, bukan karena sadar. Aksi menjadi bentuk ekspresi, bukan strategi. Maka tak heran, setelah ramai-ramai menolak Omnibus Law, mahasiswa pulang, dan UU itu tetap berjalan. Tak ada konsolidasi lanjutan, tak ada basis gerakan yang kokoh.

Kita juga harus mengakui: banyak mahasiswa hari ini hanya bersumpah-sumpah. Mereka berbicara tentang keadilan, keberpihakan, dan persatuan. Namun kenyataannya, organisasi mahasiswa menjadi ruang kompromi dan kompetisi internal demi proyek, akses birokrasi, atau sekadar jabatan organisasi. Alih-alih mencetak kader pemikir dan penggerak, organisasi hari ini lebih banyak mencetak “panitia profesional”.

Dosa mahasiswa adalah dosa terhadap rakyat. Kita pernah dianggap harapan perubahan, tetapi kita sendiri tak lagi punya keberanian untuk berdiri bersama mereka. Kita mengaku berdiri untuk rakyat, padahal tak pernah bertemu mereka. Kita berteriak tentang hak buruh dan tani, tapi tak pernah membaca laporan ketimpangan. Kita bicara tentang pengabdian, tapi kita sendiri tak punya gagasan apa yang harus diubah.

Namun ini belum akhir. Setiap pergeseran selalu menyisakan peluang perlawanan. Di tengah kelesuan, selalu ada api kecil yang menyala. Dalam setiap kebuntuan, selalu ada celah untuk bergerak.

Maka yang kita butuhkan sekarang bukan hanya kritik terhadap sistem, tapi juga kritik terhadap diri sendiri. Taubat mahasiswa adalah kesadaran kolektif bahwa kita telah menyimpang dari posisi historis kita sebagai kekuatan perubahan. Kita perlu membangun ulang organisasi berbasis ideologi, bukan hanya kegiatan. Kita perlu menciptakan kembali KKN sebagai ruang pendidikan politik, bukan sekadar proyek kampus. Kita perlu memulihkan kembali kepercayaan rakyat bahwa mahasiswa masih berpihak kepada mereka.

Taubat mahasiswa bukan soal air mata, tapi soal keberanian untuk berubah. Ini bukan soal nostalgia masa lalu, tapi soal bagaimana kita menjemput kembali sejarah yang pernah kita pegang. Jika kita tidak bergerak hari ini, maka jangan salahkan jika generasi selanjutnya tidak lagi memandang mahasiswa sebagai cahaya.

Karena sejarah tidak akan menunggu mereka yang ragu. Dan rakyat tidak akan berharap pada mereka yang nyaman.

A luta continua. Perjuangan belum selesai.



Oleh: Fualdhi Husaini Hasibuan

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url