E-Kom LMND UNIBA Statment: PKKMB Bina Bangsa. Edukasi atau Indoktrinasi? Kebebasan Mahasiswa Dibungkam!
![]() |
| Adam Arjun Maulana Sekretaris Eksekutif Komisariat LMND UNIBA |
SERANG – Universitas Bina Bangsa kembali diguncang ironi. Bukan oleh keberanian intelektual mahasiswanya, melainkan oleh sikap diam dan apatis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang menanggalkan peran historisnya sebagai representasi politik mahasiswa. Justru organisasi eksternal yang selama ini konsisten mengartikulasikan kontradiksi kampus.
Namun kini, ruang itu pun coba dibungkam. Seorang mahasiswa berinisial K A Y, yang duduk di struktur BEM sekaligus menjabat sebagai Koordinator Tutor PKKMB, dalam sebuah forum internal terekam menyatakan:
“Tutor ini bukan untuk mengorganisir ke dalam organisasi eksternal. Tapi hanya untuk ke himpunan dan mengarahkan mahasiswa tentang PKKMB. Kalau ada yang ketahuan, bakal berurusan bukan dengan saya, tapi dengan lembaga.”
Pernyataan itu jelas mengandung persoalan serius. Pertama, ia melampaui mandat. Karena Tidak ada Regulasi yang jelas tentang peraturan tersebut. Di luar itu, mahasiswa sepenuhnya bebas memilih jalan politik dan organisasinya. Kedua, ancaman “berurusan dengan lembaga” memperlihatkan watak koersif dan represif yang sama sekali tidak semestinya hadir dalam proses pendidikan.
Universitas seharusnya menjadi arena dialektika, bukan ruang steril politik. Intervensi Koordinator Tutor justru mereproduksi kampus sebagai penjara intelektual, mahasiswa diarahkan hanya mengenal himpunan yang berada dalam orbit birokrasi, sementara akses ke organisasi eksternal dipagari dengan ancaman. Padahal, sejarah gerakan mahasiswa Indonesia membuktikan: organisasi eksternal justru berperan penting dalam menjaga tradisi kritis dan otonomi mahasiswa.
Sekretaris Eksekutif Komisariat LMND UNIBA, Adam Arjun Maulana, mengecam keras praktik pembungkaman ini.
“Ironis. Selama ini justru organisasi eksternal yang konsisten menyuarakan masalah dan kontradiksi di Universitas Bina Bangsa. BEM dan himpunan internalnya justru seringkali diam. Maka, intervensi Koordinator Tutor jelas berlebihan dan bermasalah. Tidak ada satu pun regulasi yang melarang tutor bersikap independen. Hak mahasiswa untuk memilih bendera organisasinya adalah bagian dari kebebasan berekspresi sekaligus hak politiknya.”
Adam menegaskan bahwa klaim Koordinator Tutor yang berlindung di balik “lembaga” adalah bentuk pengaburan hukum kampus. “Bagaimana mungkin DPM atau lembaga legislatif mahasiswa baru mau membuat aturan, sementara statuta universitas sendiri belum jelas keberadaannya? Membuat undang-undang KBM tanpa dasar statuta hanyalah tindakan pseudo-legal yang tidak sah,” ujarnya.
Situasi ini adalah alarm keras. Jika intervensi seperti ini dibiarkan, maka pembungkaman akan menjadi tradisi baru di kampus. Mahasiswa baru dipaksa jinak, diarahkan hanya ke jalur resmi, sementara ruang alternatif dipasung dengan ancaman. Itu bukan hanya pemangkasan hak demokrasi mahasiswa, tetapi juga pembunuhan potensi kritis generasi baru.
Karena itu, organisasi eksternal harus bersuara lantang. Diam berarti tunduk, tunduk berarti mengamini kampus sebagai ruang steril politik. Melawan pembungkaman bukan sekadar kewajiban moral, melainkan harga diri gerakan mahasiswa.
Solidaritas lintas organisasi adalah keniscayaan. Sebab, bila ruang demokrasi di kampus mati, maka seluruh gerakan mahasiswa ikut terkubur bersama apatisme birokrasi mahasiswa internalnya.
