Kisruh Dukcapil TTU: Ketika Wewenang Daerah Bertabrakan dengan Aturan Pusat

Pada momentum Idul Adha, sekitar 6 Juni 2025, publik Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dikejutkan oleh pengumuman Bupati yang memberhentikan dua pejabat eselon II, termasuk Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Kadis Dukcapil), Richardus Erwin Taolin, SE.
Keputusan ini menimbulkan gejolak birokrasi yang berujung pada terhambatnya pelayanan administrasi kependudukan di daerah tersebut.
Menurut sejumlah laporan, sejak 4 Juni 2025—tanggal yang disebut sebagai awal berlakunya status “nonjob”—operasional Dukcapil memang masih berjalan, tetapi seluruh dokumen kependudukan hanya tersimpan dalam status draft dan tidak dapat ditandatangani secara sah.
Baru pada pertengahan Juni 2025, tepatnya melalui Surat Keputusan Bupati TTU Nomor 800.1.3.3/257/BKPSDMD, pemberhentian resmi terhadap Kadis Dukcapil diterbitkan.
Setelah SK itu keluar, reaksi keras datang dari berbagai pihak. Fraksi Golkar di DPRD TTU, misalnya, mendesak agar Erwin Taolin dikembalikan ke jabatannya karena pelayanan publik terganggu.
Ribuan warga tidak dapat memperoleh dokumen penting seperti e-KTP, akta kelahiran, maupun surat pindah, yang semuanya menumpuk dalam sistem tanpa tanda tangan pejabat berwenang.
Situasi semakin rumit ketika Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Dukcapil melayangkan teguran resmi kepada Bupati TTU.
Dalam surat tersebut, Kemendagri menilai pemberhentian Kadis Dukcapil melanggar Pasal 83A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dan ketentuan Permendagri Nomor 60 Tahun 2021.
Pasal tersebut menegaskan bahwa pengangkatan dan pemberhentian pejabat Dukcapil harus mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri.
Kemendagri pun meminta agar SK pemberhentian itu dibatalkan dan pejabat bersangkutan dikembalikan ke posisinya paling lambat tujuh hari sejak surat diterima.
Di sisi lain, pemerintah daerah berkeras bahwa keputusan tersebut bukan langkah spontan, melainkan hasil evaluasi masa jabatan 2022–2024.
Bupati beralasan adanya indikasi maladministrasi dalam pelayanan publik di Dukcapil, sehingga penonaktifan dilakukan untuk perbaikan internal.
Meski demikian, publik menilai keputusan itu terkesan mendadak, tidak transparan, dan berimplikasi langsung terhadap ribuan warga yang membutuhkan dokumen kependudukan.
Perbedaan waktu antara tanggal 4 Juni (awal operasional nonjob) dan pertengahan Juni (terbitnya SK pemberhentian) memperlihatkan adanya ketidaksinkronan antara proses administratif dan keputusan eksekutif.
Ketidaksamaan ini menjadi sorotan utama dalam menilai aspek legalitas keputusan tersebut—apakah langkah Bupati sudah sesuai prosedur atau justru melampaui kewenangan yang telah diatur dalam regulasi nasional.
Kisruh ini seolah membuka kembali perdebatan lama tentang batas wewenang antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Di satu sisi, kepala daerah memang memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi kinerja pejabat di lingkupnya. Namun di sisi lain, sektor administrasi kependudukan merupakan urusan strategis nasional yang tidak sepenuhnya berada di tangan daerah.
Ketidakharmonisan koordinasi ini akhirnya justru merugikan masyarakat, yang menjadi korban langsung dari tarik-menarik kepentingan birokrasi.
Kisah Dukcapil TTU memberi pelajaran penting: reformasi birokrasi tidak boleh dilakukan dengan cara yang menimbulkan stagnasi pelayanan publik.
Evaluasi kinerja pejabat sah-sah saja, tetapi mesti dilakukan secara transparan, taat hukum, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Karena pada akhirnya, setiap keputusan yang diambil tanpa memperhatikan dampaknya bagi masyarakat hanyalah bentuk lain dari maladministrasi yang lebih besar.
PENULIS: Katharina Kefi Mahasiswa Aktif Universitas Timor Program Studi Administrasi negara